618484 ke duanya

MAKALAH SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Ada 35 Halaman



SOSIOLOGI PENDIDIKAN

Abstrak
Teaching Sociology's emphasis on the scholarship of teaching and learning has moved the field well beyond simple description of teaching methods. There is no doubt that the journal is more scholarly than in the past. Still, we do not take advantage of our rich theoretical disciplinary work. There is much to learn sociologically about the classroom and other sites of interaction between teachers and students. Our classrooms are social sites and our analysis of them can be of help to scholars both inside and outside the discipline. In this article, we propose a sensitizing concept, the sociology of the college classroom - the application of sociological theory and/or concepts to understand social phenomena that take place at the level of the classroom and other sites of faculty-student interaction. We situate the sociology of the college classroom as a subset of the scholarship of teaching and learning and the sociology of higher education. Sociology of the college classroom can be a place not only where research meets teaching, but it can also be a site where sociological theory meets pedagogical praxis.

A.      Pendahuluan
Sosiologi pendidikan adalah cabang dari ilmu pengetahuan yang membahas prosess interaksi sosial anak mulai dari keluarga, masa sekolah sampai dewasa serta dengan kondisi-kondisi sosiol culturil yang teradapat dalam lingkungannya atau masyarakat dimana ia tinggal atau dibesarkan.
    Untuk menciptakan hubungan yang baik dengan individu maupun terhadap masyarakat maka perlu menggunakan beberapa pendekatan, dengan pendekatan maka akan berinterksi dengan individu dan masyarakat berjalan dengan lancar dan mudah, oleh karena pentingnya pendekatan dalam Sosioli pendidikan maka makalah ini mengambil judul "Ragam Pendekatan Sosial", di dalam makalah ini banyak kekurangan oleh sebab itu kami mengharapkan kritik, saran, maupun tambahan guna kesempurnaan makalah ini.

B.       Sejarah Sosiologi Pendidikan

Sosiologi modern tumbuh pesat di benua Amerika, tepatnya di Amerika Serikat dan Kanada. Mengapa bukan di Eropa? (yang notabene merupakan tempat dimana sosiologi muncul pertama kalinya). Pada permulaan abad ke-20, gelombang besar imigran berdatangan ke Amerika Utara. Gejala itu berakibat pesatnya pertumbuhan penduduk, munculnya kota-kota industri baru, bertambahnya kriminalitas dan lain lain. Konsekuensi gejolak sosial itu, perubahan besar masyarakat pun tak terelakkan. Perubahan masyarakat itu menggugah para ilmuwan sosial untuk berpikir keras, untuk sampai pada kesadaran bahwa pendekatan sosiologi lama ala Eropa tidak relevan lagi.
Mereka berupaya menemukan pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Maka lahirlah sosiologi modern. Berkebalikan dengan pendapat sebelumnya, pendekatan sosiologi modern cenderung mikro (lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari mulai dari fakta sosial demi fakta sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Sejak saat itulah disadari betapa pentingnya penelitian (research) dalam sosioloogi.
Lester Frank Woed (1841-191) salah seorang pelopor sisiologi di Amerika diangap sebagai pencetus gagasan lahirnya sosiologi pendidikan di Amerika. Gagasan tersebut muncul dalam bukunya berjudul Applied Sociology (sosiologi terapan) yang mengkaji perubahan-perubahan masyarakat karena usaha manusia. Kemudian dikembangkan oleh John Dewey (1859-1952) yang dikenal sebagai bapak pendidikan dan sebagai pelopor berdirinya sosiologe pendidikan.
Di perguruan tinggi mulai ada mata kuliah tentang sosiologi pendidikan. Kemudian diterbitkan sebuah buku petama tentang sosiologi pendidikan oleh Walter R Smith dengan judul Introduction to Educational Sociology (Tjipto Subandi 2009: 66). Tahun 1928 terbit The Jurnal of Educiation Sociology  sebagai wahana pemikiran sosiologi pendidikan pimpinan E. George Payne.
Minat Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh politik. Kekalahan Prancis dalam Perang Prancis-Prusia telah memberikan pukulan terhadap pemerintahan republikan yang sekular. Banyak orang menganggap pendekatan Katolik, dan sangat nasionalistik sebagai jalan satu-satunya untuk menghidupkan kembali kekuasaan Prancis yang memudar di daratan Eropa. Durkheim, seorang Yahudi dan sosialis, berada dalam posisi minoritas secara politik, suatu situasi yang membakarnya secara politik. Peristiwa Dreyfus pada 1894 hanya memperkuat sikapnya sebagai seorang aktivis.
Seseorang yang berpandangan seperti Durkheim tidak mungkin memperoleh pengangkatan akademik yang penting di Paris, dan karena itu setelah belajar sosiologi selama setahun diJerman, ia pergi ke Bordeaux pada 1887, yang saat itu baru saja membuka pusat pendidikan guru yang pertama di Prancis. Di sana ia mengajar pedagogi dan ilmu-ilmu sosial (suatu posisi baru di Prancis). Dari posisi ini Durkheim memperbarui sistem sekolah Prancis dan memperkenalkan studi ilmu-ilmu sosial dalam kurikulumnya. Kembali, kecenderungannya untuk mereduksi moralitas dan agama ke dalam fakta sosial semata-mata membuat ia banyak dikritik.
Tahun 1890-an adalah masa kreatif Durkheim. Pada 1893 ia menerbitkan “Pembagian Kerja dalam Masyarakat”, pernyataan dasariahnya tentang hakikat masyarakat manusia dan perkembangannya. Pada 1895 ia menerbitkan “Aturan-aturan Metode Sosiologis”, sebuah manifesto yang menyatakan apakah sosiologi itu dan bagaimana ia harus dilakukan. Ia pun mendirikan Jurusan Sosiologi pertama di Eropa di Universitas Bourdeaux. Pada 1896 ia menerbitkan jurnal L'AnnĂ©e Sociologique untuk menerbitkan dan mempublikasikan tulisan-tulisan dari kelompok yang kian bertambah dari mahasiswa dan rekan (ini adalah sebutan yang digunakan untuk kelompok mahasiswa yang mengembangkan program sosiologinya). Dan akhirnya, pada 1897, ia menerbitkan “Bunuh Diri”, sebuah studi kasus yang memberikan contoh tentang bagaimana bentuk sebuah monograf sosiologi.
Pada 1902 Durkheim akhirnya mencapai tujuannya untuk memperoleh kedudukan terhormat di Paris ketika ia menjadi profesor di Sorbonne. Karena universitas-universitas Prancissecara teknis adalah lembaga-lembaga untuk mendidik guru-guru untuk sekolah menengah, posisi ini memberikan Durkheim pengaruh yang cukup besar – kuliah-kuliahnya wajib diambil oleh seluruh mahasiswa. Apapun pendapat orang, pada masa setelah Peristiwa Dreyfus, untuk mendapatkan pengangkatan politik, Durkheim memperkuat kekuasaan kelembagaannya pada 1912 ketika ia secara permanen diberikan kursi dan mengubah namanya menjadi kursi pendidikan dan sosiologi. Pada tahun itu pula ia menerbitkan karya besarnya yang terakhir “Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Keagamaan”.
Perang Dunia I mengakibatkan pengaruh yang tragis terhadap hidup Durkheim. Pandangan kiri Durkheim selalu patriotik dan bukan internasionalis – ia mengusahakan bentuk kehidupan Prancis yang sekular, rasional. Tetapi datangnya perang dan propaganda nasionalis yang tidak terhindari yang muncul sesudah itu membuatnya sulit untuk mempertahankan posisinya. Sementara Durkheim giat mendukung negaranya dalam perang, rasa enggannya untuk tunduk kepada semangat nasionalis yang sederhana (ditambah dengan latar belakang Yahudinya) membuat ia sasaran yang wajar dari golongan kanan Prancis yang kini berkembang. Yang lebih parah lagi, generasi mahasiswa yang telah dididik Durkheim kini dikenai wajib militer, dan banyak dari mereka yang tewas ketika Prancis bertahan mati-matian. Akhirnya, RenĂ©, anak laki-laki Durkheim sendiri tewas dalam perang – sebuah pukulan mental yang tidak pernah teratasi oleh Durkheim. Selain sangat terpukul emosinya, Durkheim juga terlalu lelah bekerja, sehingga akhirnya ia terkena serangan lumpuh dan meninggal pada1917.
Dari uraian di atas Durkhein termasuk salah satu pelopor pencetus sosiologi pendidikan di wilayah Eropa. Banyak faham-faham yang bepijak dari ilmu sosial yang mewarnai disiplin ilmu pada waktu itu. Ilmu sosial digunakan oleh institusi untuk mengembangkan kurikulum pendidikan artinya ilmu sosial sudah mulai digunakan dalam dunia pendidikan.

C.      Peletak Dasar Sosiologi
1.        Ibnu Khaldum
Jika kita berbicara tentang seorang cendekiawan yang satu ini, memang cukup unik dan mengagumkan. Sebenarnya, dialah yang patut dikatakan sebagai pendiri ilmu sosial. Ia lahir dan wafat di saat bulan suci Ramadan. Nama lengkapnya adalah Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan yang kemudian masyhur dengan sebutan Ibnu Khaldun. Pemikiran-pemikirannya yang cemerlang mampu memberikan pengaruh besar bagi cendekiawan-cendekiawan Barat dan Timur, baik Muslim maupun non-Muslim. Dalam perjalanan hidupnya, Ibnu Khaldun dipenuhi dengan berbagai peristiwa, pengembaraan, dan perubahan dengan sejumlah tugas besar serta jabatan politis, ilmiah dan peradilan. Perlawatannya antara Maghrib dan Andalusia, kemudian antara Maghrib dan negara-negara Timur memberikan hikmah yang cukup besar. Ia adalah keturunan dari sahabat Rasulullah saw. bernamaWail bin Hujr dari kabilah Kindah.
Lelaki yang lahir di Tunisia pada 1 Ramadan 732 H./27 Mei 1332 M. adalah dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Alquran sejak usia dini. Sebagai ahli politik Islam, ia pun dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, karena pemikiran-pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis jauh telah dikemukakannya sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823) mengemukakan teori-teori ekonominya. Bahkan ketika memasuki usia remaja, tulisan-tulisannya sudah menyebar ke mana-mana. Tulisan-tulisan dan pemikiran Ibnu Khaldun terlahir karena studinya yang sangat dalam, pengamatan terhadap berbagai masyarakat yang dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang luas, serta ia hidup di tengah-tengah mereka dalam pengembaraannya yang luas pula.
Selain itu dalam tugas-tugas yang diembannya penuh dengan berbagai peristiwa, baik suka dan duka. Ia pun pernah menduduki jabatan penting di Fes,Granada, dan Afrika Utara serta pernah menjadi guru besar di Universitas al-Azhar, Kairo yang dibangun oleh dinasti Fathimiyyah. Dari sinilah ia melahirkan karya-karya yang monumental hingga saat ini.
nama dan karyanya harum dan dikenal di berbagai penjuru dunia. Panjang sekali jika kita berbicara tentang biografi Ibnu Khaldun, namun ada tiga periode yang bisa kita ingat kembali dalam perjalan hidup beliau. Periode pertama, masa dimana Ibnu Khaldun menuntut berbagai bidang ilmu pengetahuan. Yakni, ia belajar Alquran, tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, fikih madzhab Maliki, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, fisika dan matematika.
Dalam semua bidang studinya mendapatkan nilai yang sangat memuaskan dari para gurunya. Namun studinya terhenti karena penyakit pes telah melanda selatan Afrika pada tahun 749 H. yang merenggut ribuan nyawa. Ayahnya dan sebagian besar gurunya meninggal dunia. Ia pun berhijrah ke Maroko selanjutnya ke Mesir; Periode kedua, ia terjun dalam dunia politik dan sempat menjabat berbagai posisi penting kenegaraan seperti qadhi al-qudhat (Hakim Tertinggi). Namun, akibat fitnah dari lawan-lawan politiknya, Ibnu Khaldun sempat juga dijebloskan ke dalam penjara. Setelah keluar dari penjara, dimulailah periode ketiga kehidupan Ibnu Khaldun, yaitu berkonsentrasi pada bidang penelitian dan penulisan, ia pun melengkapi dan merevisi catatan-catatannya yang telah lama dibuatnya. Seperti kitab al-’ibar (tujuh jilid) yang telah ia revisi dan ditambahnya bab-bab baru di dalamnya, nama kitab ini pun menjadi Kitab al-’Ibar wa Diwanul Mubtada’ awil Khabar fi Ayyamil ‘Arab wal ‘Ajam wal Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawis Sulthan al-Akbar.
Kitab al-i’bar ini pernah diterjemahkan dan diterbitkan oleh De Slane pada tahun 1863, dengan judul Les Prolegomenes d’Ibn Khaldoun. Namun pengaruhnya baru terlihat setelah 27 tahun kemudian. Tepatnya pada tahun 1890, yakni saat pendapat-pendapat Ibnu Khaldun dikaji dan diadaptasi oleh sosiolog-sosiolog German dan Austria yang memberikan pencerahan bagi para sosiolog modern. Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi diantaranya, at-Ta’riif bi Ibn Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya); Muqaddimah (pendahuluan atas kitabu al-’ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan filosofis); Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin (sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa al-Muta’akh-khiriin karya Imam Fakhruddin ar-Razi).
DR. Bryan S. Turner, guru besar sosiologi di Universitas of Aberdeen, Scotland dalam artikelnya “The Islamic Review & Arabic Affairs” di tahun 1970-an mengomentari tentang karya-karya Ibnu Khaldun. Ia menyatakan, “Tulisan-tulisan sosial dan sejarah dari Ibnu Khaldun hanya satu-satunya dari tradisi intelektual yang diterima dan diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa Inggris (yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris).” Salah satu tulisan yang sangat menonjol dan populer adalah muqaddimah (pendahuluan) yang merupakan buku terpenting tentang ilmu sosial dan masih terus dikaji hingga saat ini. Bahkan buku ini telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Di sini Ibnu Khaldun menganalisis apa yang disebut dengan ‘gejala-gejala sosial’ dengan metoda-metodanya yang masuk akal yang dapat kita lihat bahwa ia menguasai dan memahami akan gejala-gejala sosial tersebut. Pada bab ke dua dan ke tiga, ia berbicara tentang gejala-gejala yang membedakan antara masyarakat primitif dengan masyarakat moderen dan bagaimana sistem pemerintahan dan urusan politik di masyarakat.
Bab ke dua dan ke empat berbicara tentang gejala-gejala yang berkaitan dengan cara berkumpulnya manusia serta menerangkan pengaruh faktor-faktor dan lingkungan geografis terhadap gejala-gejala ini. Bab ke empat dan kelima, menerangkan tentang ekonomi dalam individu, bermasyarakat maupun negara. Sedangkan bab ke enam berbicara tentang paedagogik, ilmu dan pengetahuan serta alat-alatnya. Sungguh mengagumkan sekali sebuah karya di abad ke-14 dengan lengkap menerangkan hal ihwal sosiologi, sejarah, ekonomi, ilmu dan pengetahuan. Ia telah menjelaskan terbentuk dan lenyapnya negara-negara dengan teori sejarah.
Ibnu Khaldun sangat meyakini sekali, bahwa pada dasarnya negera-negara berdiri bergantung pada generasi pertama (pendiri negara) yang memiliki tekad dan kekuatan untuk mendirikan negara. Lalu, disusul oleh generasi ke dua yang menikmati kestabilan dan kemakmuran yang ditinggalkan generasi pertama. Kemudian, akan datang generasi ke tiga yang tumbuh menuju ketenangan, kesenangan, dan terbujuk oleh materi sehingga sedikit demi sedikit bangunan-bangunan spiritual melemah dan negara itu pun hancur, baik akibat kelemahan internal maupun karena serangan musuh-musuh yang kuat dari luar yang selalu mengawasi kelemahannya.
Ada beberapa catatan penting dari sini yang dapat kita ambil bahan pelajaran. Bahwa Ibnu Khaldun menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan tidak meremehkan akan sebuah sejarah. Ia adalah seorang peneliti yang tak kenal lelah dengan dasar ilmu dan pengetahuan yang luas. Ia selalu memperhatikan akan komunitas-komunitas masyarakat. Selain seorang pejabat penting, ia pun seorang penulis yang produktif. Ia menghargai akan tulisan-tulisannya yang telah ia buat. Bahkan ketidaksempurnaan dalam tulisannya ia lengkapi dan perbaharui dengan memerlukan waktu dan kesabaran. Sehingga karyanya benar-benar berkualitas, yang di adaptasi oleh situasi dan kondisi.
Karena pemikiran-pemikirannya yang briliyan Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam. Dasar pendidikan Alquran yang diterapkan oleh ayahnya menjadikan Ibnu Khaldun mengerti tentang Islam, dan giat mencari ilmu selain ilmu-ilmu keislaman. Sebagai Muslim dan hafidz Alquran, ia menjunjung tinggi akan kehebatan Alquran. Sebagaimana dikatakan olehnya, “Ketahuilah bahwa pendidikan Alquran termasuk syiar agama yang diterima oleh umat Islam di seluruh dunia Islam. Oleh kerena itu pendidikan Alquran dapat meresap ke dalam hati dan memperkuat iman. Dan pengajaran Alquran pun patut diutamakan sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain.” Jadi, nilai-nilai spiritual sangat di utamakan sekali dalam kajiannya, disamping mengkaji ilmu-ilmu lainnya. Kehancuran suatu negara, masyarakat, atau pun secara individu dapat disebabkan oleh lemahnya nilai-nilai spritual. Pendidikan agama sangatlah penting sekali sebagai dasar untuk menjadikan insan yang beriman dan bertakwa untuk kemaslahatan umat. Itulah kunci keberhasilan Ibnu Khaldun, ia wafat di Kairo Mesir pada saat bulan suci Ramadan tepatnya pada tanggal 25 Ramadan 808 H./19 Maret 1406 M.
2.        Auguste Comte
Augusute Comte adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah sosiologi dan orang yang pertama kali pula memberikan suatu pemikiran filsafat yang membantu perkembangan sosiologi. Auguste Comte dikenal sebagai ilmuwan yang memiliki sifat pemarah dan arogan, yang sering terlibat pertengkaran dengan guru-gurunya, termasuk Saint-Simon. Karena sifat kerasnya ini, Comte mengalami kegilaan terlebih dahulu sebelum akhirnya dianggap sebagai salah satu ahli ilmu sosial yang penting.
               Ilmuwan yang mempengaruhi pemikiran Comte antara lain adalah Hobbes,Kant, dan Saint-Simon. Paham-paham yang dikonsep oleh Comte bertolak kepada dasar-dasar pemikiran yang sudah terlebih dahulu dikonsep oleh ilmuwan-ilmuwan tersebut. Seperti misalnya, teori kapitalisme klasik yang digagas oleh Kant, berbicara tentang kebebasan individu yang pemikirannya dipengaruhi oleh pengalaman. Atau teori individualisasi oleh Saint-Simon yang mengatakan bahwa kehidupan manusia sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi individu-individu tersebut.
               Comte mempunyai keyakinan bahwa untuk bisa menemukan pemikiran yang baru, kita harus bisa keluar dari pemikiran-pemikiran sebelumnya. Dengan kata lain, kita harus objektif terhadap paham yang kita konsep tersebut. Oleh karena itu, Comte kemudian mengatakah bahwa tinggalkan filsafat dan lakukan penelitian empiris yang berdasarkan fakta dan kenyataan yang ada. Penelitian yang terjun langsung ke dalam masyarakat (empirical approach to society). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengamati struktur dan fungsi yang ada untuk memberikan ramalan atau prediksi di masa depan (observe structure and function to predict future events). Meskipun Comte menganggap sturuktur dan fungsi tidak stabil, tetapi dia berpendapat individualisme seseorang terhadap intervensi ke struktur dan fungsi tersebut tidak boleh berlebihan. Comte mengkritik keras paham individualisme pencerahan yang berusaha mendobrak teokrasi dan otokrasi (critical of enlightenment individualism).
               Pemikiran Comte juga dipengaruhi oleh Montesquieu, tentang pembagian kekuasaan dan hukum masyarakat (laws of society). Penggunaan metode ilmiah dan sains dalam ilmu sosial yang digagas oleh Comte dipengaruhi oleh Condorcet tentang suatu kemajuan melalui sains. Dalam hal ini, metode ilmiah yang dilakukan dalam sain (science) juga harus diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial untuk memahami laws of societytersebut, dan untuk memberikan gambaran masa depan tentang kehidupan masyarakat serta mengarahakan masyarakat tersebut (apply science to directing society).
               Ciri dan karakter sosioolgi Comte adalah sosiologi pendidikan karena fokusnya adalah bagaimana mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Konsep dan kontribusi Comte terhadap ilmu pengetahuan sosial ini antara lain adalah menciptakan istilah sosiologi dan menekankan “the social physics of society” (apa yang ada di dalam fisik itu yang bermaknda sosial). Comte juga menolak paham metaphysics dan theology. Dalam mencapai kemajuan masyarakat, ilmu pengetahuan harus dilibatkan. Comte juga berpegang teguh pada positivism, yaitu studi masyarakat dengan cara-cara yang sama dengan ilmu pengetahuan alam (natural law dan objective observation).
            Comte melihat satu hukum universal dalam semua ilmu pengetahuan yang kemudian ia sebut sebagai ‘hukum tiga fase’
Law of three stages (hukum tiga fase)
·         Theological             : Rule by religion
·         Metaphysical          :  Rule by mystic
·         Positive                  :  reason, observation, natural laws of society that can predict future events.
 Ilmu yang dikaji oleh Comte terklasifikasi menjadi dua bagian, yaitu social static dansocial dynamics.
·         social static adalah sebuah ilmu yang mempelajari hubungan timbale balik antara lembaga-lembaga kemasyarakatan
·         social dynamic adalah ilmu yang meneropong bagaimana lembaga-lembaga tersebut berkembang dan mengalami perkmebangan sepanjang masa.
 Religion of humanity
·         agama menyumbang kea rah stabilitas sosial
·         kebutuhan untuk meninggalkan theocracy
·         positive religion : humanistic approach, yaitu agama yang dapat menyelesaikan permasalahan kemanusiaan dan mengangkat harkat dan martabat manusia
·          the “new clergy” adalah sosiolog.

3.        Emile Durkhein
Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer Durkheim adalah salah satu orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada fungsi yang mereka lakukan dalam mempertahankan kesehatan dan keseimbangan masyarakat – suatu posisi yang kelak dikenal sebagai fungsionalisme.
Durkheim juga menekankan bahwa masyarakat lebih daripada sekadar jumlah dari seluruh bagiannya. Jadi berbeda dengan rekan sezamannya, Max Weber, ia memusatkan perhatian bukan kepada apa yang memotivasi tindakan-tindakan dari setiap pribadi (individualisme metodologis), melainkan lebih kepada penelitian terhadap "fakta-fakta sosial", istilah yang diciptakannya untuk menggambarkan fenomena yang ada dengan sendirinya dan yang tidak terikat kepada tindakan individu. Ia berpendapat bahwa fakta sosial mempunyai keberadaan yang independen yang lebih besar dan lebih objektif daripada tindakan-tindakan individu yang membentuk masyarakat dan hanya dapat dijelaskan melalui fakta-fakta sosial lainnya daripada, misalnya, melalui adaptasi masyarakat terhadap iklim atau situasi ekologis tertentu.
Dalam bukunya “Pembagian Kerja dalam Masyarakat” (1893), Durkheim meneliti bagaimana tatanan sosial dipertahankan dalam berbagai bentuk masyarakat. Ia memusatkan perhatian pada pembagian kerja, dan meneliti bagaimana hal itu berbeda dalam masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Para penulis sebelum dia seperti Herbert Spencer danFerdinand Toennies berpendapat bahwa masyarakat berevolusi mirip dengan organisme hidup, bergerak dari sebuah keadaan yang sederhana kepada yang lebih kompleks yang mirip dengan cara kerja mesin-mesin yang rumit. Durkheim membalikkan rumusan ini, sambil menambahkan teorinya kepada kumpulan teori yang terus berkembang mengenai kemajuan sosial, evolusionisme sosial, dan darwinisme sosial. Ia berpendapat bahwa masyarakat-masyarakat tradisional bersifat ‘mekanis’ dan dipersatukan oleh kenyataan bahwa setiap orang lebih kurang sama, dan karenanya mempunyai banyak kesamaan di antara sesamanya. Dalam masyarakat tradisional, kata Durkheim, kesadaran kolektif sepenuhnya mencakup kesadaran individual – norma-norma sosial kuat dan perilaku sosial diatur dengan rapi.
Dalam masyarakat modern, demikian pendapatnya, pembagian kerja yang sangat kompleks menghasilkan solidaritas 'organik'. Spesialisasi yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat orang kepada sesamanya, karena mereka tidak lagi dapat memenuhi seluruh kebutuhan mereka sendiri. Dalam masyarakat yang ‘mekanis’, misalnya, para petani gurem hidup dalam masyarakat yang swa-sembada dan terjalin bersama oleh warisan bersama dan pekerjaan yang sama. Dalam masyarakat modern yang 'organik', para pekerja memperoleh gaji dan harus mengandalkan orang lain yang mengkhususkan diri dalam produk-produk tertentu (bahan makanan, pakaian, dll) untuk memenuhi kebutuhan mereka. Akibat dari pembagian kerja yang semakin rumit ini, demikian Durkheim, ialah bahwa kesadaran individual berkembang dalam cara yang berbeda dari kesadaran kolektif – seringkali malah berbenturan dengan kesadaran kolektif.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hokum seringkali bersifat represif: pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu; hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat restitutif: ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks.
Jadi, perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma-norma sosial yang mengatur perilaku. Durkheim menamai keadaan ini anomie. Dari keadaan anomie muncullah segala bentuk perilaku menyimpang, dan yang paling menonjol adalah bunuh diri.
Durkheim belakangan mengembangkan konsep tentang anomie dalam "Bunuh Diri", yang diterbitkannya pada 1897. Dalam bukunya ini, ia meneliti berbagai tingkat bunuh diri di antara orang-orang Protestan dan Katolik, dan menjelaskan bahwa kontrol sosial yang lebih tinggi di antara orang Katolik menghasilkan tingkat bunuh diri yang lebih rendah. Menurut Durkheim, orang mempunyai suatu tingkat keterikatan tertentu terhadap kelompok-kelompok mereka, yang disebutnya integrasi sosial. Tingkat integrasi sosial yang secara abnormal tinggi atau rendah dapat menghasilkan bertambahnya tingkat bunuh diri: tingkat yang rendah menghasilkan hal ini karena rendahnya integrasi sosial menghasilkan masyarakat yang tidak terorganisasi, menyebabkan orang melakukan bunuh diri sebagai upaya terakhir, sementara tingkat yang tinggi menyebabkan orang bunuh diri agar mereka tidak menjadi beban bagi masyarakat. Menurut Durkheim, masyarakat Katolik mempunyai tingkat integrasi yang normal, sementara masyarakat Protestan mempunyai tingat yang rendah. Karya ini telah memengaruhi para penganjur teori kontrol, dan seringkali disebut sebagai studi sosiologis yang klasik.
Akhirnya, Durkheim diingat orang karena karyanya tentang masyarakat 'primitif' (artinya, non Barat) dalam buku-bukunya seperti "Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Agama" (1912) dan esainya "Klasifikasi Primitif" yang ditulisnya bersama Marcel Mauss. Kedua karya ini meneliti peranan yang dimainkan oleh agama dan mitologi dalam membentuk pandangan dunia dan kepribadian manusia dalam masyarakat-masyarakat yang sangat 'mekanis' (meminjam ungkapan Durkheim)

D.      Teori Sosiologi Makro
1.      Teori Struktural Fungsional
      Perspektif teori ini memiliki akar pemikiran dari Bapak Sosiologi Auguste Comte, tradisinya bisa dilihat lewat karya Herbert Spencer, dan Emile Durkheim. Sedangkan Malinowski dan Radcliffe Brown sebagai antroplog, sangat dipengaruhi teori Durkheim. Mereka kemudian mempengaruhi Sosiolog Amerika Talcott Parsons, yang kemudian memperkenalkannya kepada Robert K Merton. Perpsektif teori struktual fungsional dipandang sebagai perspektif teori yang sangat dominan dalam perkembangan sosiologi dewasa ini. Seringkali, perspektif ini disamakan/dikenal dengan teori sistem, teori equilibrium, teori consensus/terori regulasi.
             Teori Struktual fungsional muncul dilatar-belakangi semangat Renaissance, pada masa Auguste Comte abad ke-17. Pada masa itu muncul kesadaran yang semula beranggapan manusia tidak punya otoritas untuk menjelaskan dan mengelola fenomena yang terjadi dalam masyarakat, semua sudah ditentukan oleh yang “di atas“ bukan selama-lamanya, artinya ada “celah“ yang diberikan oleh yang “di atas” kepada manusia untuk mengelolanya. Pencerahan  pada abad ke 17 ini, manusia bebas mencari dan menemukan “kebenaran” yang mendorong lahirnya ilmu pengetahuan (positivistic) dan teknologi, perkembangan ini membawa perubahan yang besar pada tatanan kehidupan di Eropa, khususnya Perancis.
             Renaissance memunculkan revolusi politik dan perubahan Tatanan Nilai. Menghadapi situsai tersebut mendorong agar pendidikan bisa melahirkan ilmuan social yang sanggup membangun landasan baru dengan lebih berkonsentrasi untuk menciptakan tertib social, harmoni dan keseimbangan. Dengan demikian teori struktual fungsional mewarnai munculnya revolusi pengetahuan, terutama filsafat positivism yang melahirkan ilmu alam, oleh karena itu dalam perkembangannya, teori ini lebih mengambil inspirasi dari teori sistem organis.
             Sistem organik ini menggambarkan masyarakat atau masyarakat diasumsikan seperti sistem tubuh manusia, sistem tubuh manusia ini terdiri dari sub-sub sistem tersebut masing-masing mempunyai fungsi dan peran sendiri-sendiri, begitu juga halnya dengan masyarakat, masyarakat yang terdiri dari individu-individu membentuk simtem social yang tidak bisa terpisahkan, masing-masing sub-sistem mempunyai fungsi dan peran sendiri-sendiri.
             Studi tentang struktur dan fungsi merupakan masalah sosiologis yang telah menyita perhatian para pelopor ilmu Sosiologi. Menurut Auguste Comte, sosiologi adalah mempelajari tentang statika sosial ( struktur ) dan dinamika sosial ( proses/fungsi ), ia mengemukakan landsan pemikiran bahwa “masyarakat adalah laksana organism hidup”. Herbert Spencer, Sosiologi Inggris pada pertengahan abad ke-19, membahas tentang masyarakat sebagai suatu organism hidup, dapat diringkas dalam butir-butir sebagai berikut :
1)        Masyarakat maupun organism hidup sama-sama mengalami pertumbuhan.
2)        Disebabkan oleh pertambahan dalam ukurannya , maka srtuktur tubuh sosial ( social body ) maupun tubuh organism hidup ( living body ) itu mengalami pertambahan pula; dimana semakin besar suatu struktur sosial maka semakin banyak pula bagian-bagiannya, seperti halnya dengan sistem biologis yang menjadi semakin kompleks sementara ia tumbuh menjadi semakin besar. Binatang yang lebih kecli, misalnya cacing tanah, hanya sedikit memiliki bagian-bagian yang dapat dibedakan bila disbanding dengan makhluk yang lebih sempurna, misalnya manusia.
3)        Tiap bagian yang tumbuh di dalam tubuh organisme biologis maupun organisme sosial memiliki fungsi dan tujuan tertentu : “mereka tumbuh menjadi organ yang berbeda dengan tugas yang berbeda pula”. Pada manusia, hati memiliki struktur dan struktur  dan fungsi yang berbeda dengan paru-paru; demikian begitu juga dengan keluarga sebagian struktur institusional memiliki tujuan yang berbeda dengan sistem politik atau ekonomi.
4)        Baik di dalam sistem organism maupun sistem sosial, perubahan pada suatu bagian akan mengakibatkan perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya di dalam sistem secara keseluruhan.  Perubahan sistem politik dari suatu sistem pemerintahan demokratis ke suatu pemerintahan totaliter akan mempengaruhi keluarga, pendidikan, agama dan sebagainya. Bagian-bagian itu saling berkaitan satu sama lainnya.
5)        Bagian-bagian tersebut, walau saling berkaitan merupakan suatu struktur mikro yang dapat dipelajari secara terpisah. Demikian  maka sistem peredaran atau sistem pembuangan merupakan pusat perhatian para spesialis biologi dan medis, seperti halnya system politik atau sistem ekonomi merupakan sasaran pengkajian para ahli politik dan ekonomi. ( Margaret M. Poloma, 1992: 24-25)
     Konsep yang penting dalam perspektif ini adalah struktur dan fungsi, yang menunjuk pada dua atau lebih bagian atau komponen yang berbeda dan terpisah tetapi berhubungan satu sama lain. Struktur seringkali dianalogikan dengan  organ atau bagian-bagian anggota badan manusia, sedangkan fungsi menunjuk bagaimana bagian-bagian ini berhubungan dengan bergerak. Misalnya perut adalah struktur, sedangkan pencernaan adalah fungsi. Contoh lain, organisasi angkatan bersenjata adalah struktur, sedangkan menjaga negara dari serangan adalah fungsi. Struktur atas beberapa bagian yang saling berhubungan dan saling bergantung satu sama lain.
     Struktur sosial terdiri dari berbagai komponen dari masyarakat, seperti kelompok-kelompok, keluarga-keluarga, masyarakat setempat/lokal dan sebagainya. Kunci untuk memahami konsep struktur adalah konsep status ( posisi yang ditentukan secara sosial, yang di peroleh baik dari karena kelahiran ( ascribed status ) maupun karena usaha ( achieved status ) sesorang dalam masyarakat. Jaringan dari status sosial dalam masyarakat meruapak sistem sosial, misalnya jaringan status ayah-ibu-anak menghasilkan keluarga sebagai sistem sosial, jaringan pelajar-guru-kepala sekolah-pegawai-tata usaha, menghasilkan sekolah sebagai sistem sosial, dan sebagainya. Setiap status memiliki aspek dinamis yang disebut dengan peran ( role ) tertentu, misalnya seorang yang berstatus ayah memiliki peran yang berbeda dengan seseorang yang berstatus anak.
     Sistem sosial mengembangkan suatu fungsi tertentu yang denga fungsi itu memungkinkan masyarakat dan bagi orang-orang yang menjadi anggota masyarakat untuk eksis. Masing-masing menjalankan suatu fungsi yang berguna untuk memelihara dan menstabilkan masyarakat sebagai suatu sistem sosial. Misalnya lembaga pendidikan berfungsi mengajarkan pengetahuan atau ketrampilan, lembaga agama berfungsi memenuhi kebutuhan rohaniah, keluarga berfungsi untuk sosialisasi anak dan sebagainya. Para penganut struktual fungsional mengasumsikan bahwa sistem senantiasa cenderung dalam keadaan keseimbangan atau equilibrium. Suatu sistem yang gagal dari salah bagian dari sistem itu mempengaruhi dan membawa akibat bagi bagian-bagian lain yang saling berhubungan satu sama lain.



 BERSAMBUNG



  FILE TERSUSUN RAPI FORMAT DOCX (bisa di edit)
     silahkan sms langsung, file akan dikirim via email





  TERIMAKASIH .............SEMOGA BERMANFAAT

No comments:

Post a Comment

close