KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan karuniaNya, penyusun dapat
menyelesaikan makalah Sosiologi yang berjudul “Kekerasan Terhadap Perempuan”
dengan tepat waktu tanpa halangan suatu apapun. Diharapkan makalah ini dapat
memberikan wawasan kepada pembaca tentang bagaimana kehidupan dunia prostitusi
di Indonesia saat ini.
Tak lupa penulis ucapkan
terima kasih kepada:
1.
Tuhan Yang Maha Esa
2.
.............................,
selaku dosen pengampu mata kuliah Sosiologi.
3.
Pihak lain yang telah mendukung
sehingga terselesaikannya makalah ini.
Bagaimanapun
penyusun telah berusaha membuat makalah ini dengan sebaik-baiknya, namun tidak
ada kesempurnaan dalam karya manusia. Penyusun menyadari masih banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran
sangat penyusun harapkan untuk lebih menyempurnakan makalah ini.
Mudah-mudahan
sedikit yang penyusun sumbangkan ini, akan dicatat oleh Allah SWT dan akan
menjadi ilmu yang bermanfaat.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Makalah ini
mengambil topik tentang kekerasan pada perempuan yang akhir-akhir ini semakin
marak kasusnya baik di dalam maupun luar negeri. Perbincangan tentang kekerasan
pada perempuan telah berkembang yang tidak hanya menjadi suatu pertukaran
argumen belaka namun menjadi suatu gerakan sosial permulaan. Penelitian
kriminalitas yang dilakukan di Inggris dan Wales pada tahun 1985 (Hough and
Mayhew, 1985) yang melibatkan responden perempuan menghasilkan bahwa hampir
setengah dari mereka menyatakan merasa tidak aman apabila berjalan sendiri di
kegelapan dibandingkan dengan responden laki – laki yang tidak mencapai
setengahnya dengan kasus yang sama. Penelitian ini menunjukan bahwa perempuan
masih dijadikan sasaran utama untuk tindak kejahatan.
Berdasarkan fakta
– fakta yang ada, terbukti bahwa kasus kekerasan pada perempuan belum menjadi
isu sentral oleh masyarakat untuk dicegah dan ditanggulangi. Ada beberapa sebab
berkaitan dengan hal ini yaitu pertama, persoalan hak asasi manusia masih
dianggap hanya sebagai persoalan ocial sehingga kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan di ocial ocialc tidak dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia, kedua, persepsi
masyarakat, tidak terkecuali masyarakat perempuan sendiri, tentang kekerasan
terhadap perempuan masih terbatas pada kekerasan fisik (perkosaan), ketiga,
kekerasan terhadap perempuan masih dilihat sebagai masalah antar individu, dan
belum dipandang sebagai problem ocial yang berkaitan dengan segala bentuk penyiksaan, kekerasan, kekejaman
dan pengabaian hak-hak perempuan sebagai makhluk Tuhan, keempat, ada gejala
sinisme yang berbahaya pada sebagian masyarakat bahwa kekerasan terhadap
perempuan dilihat sebagai sebab yang dimunculkan oleh perempuan itu sendiri.
1.2
Permasalahan
Makalah ini akan
mengambil satu permasalahan utama dalam topik ini yakni jenis – jenis kriminalitas
apakah yang dialami oleh perempuan dalam kehidupannya. Di sini akan dijelaskan
dan dijabarkan jenis – jenis kriminalitas tersebut serta pandangan badan hukum
maupun masyarakat awam akan hal ini. Masalah ini pun akan dikaitkan dengan
studi jender dan budaya masyarakat tentang peran perempuan sebagai “orang
kedua” dibandingkan laki – laki.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Perempuan Sebagai Korban
Kekerasan terhadap perempuan
merupakan fenomena universal, terjadi pada semua lapisan masyarakat, tidak
membedakan kelas sosial dan bersifat lintas budaya. Kekerasan pada perempuan
dapat diartikan sebagai tindakan atau sikap yang dilakukan dengan tujuan
tertentu sehingga dapat merugikan perempuan baik secara fisik maupun secara
psikis (Ihromi, 2000 : 267). Terdapat empat kategori dalam kekerasan terhadap
perempuan yaitu (Tong, 1984 : 125 – 126) :
a)
Physical
battering
Termasuk dalam kategori
ini adalah penamparan, pemukulan, pembakaran, penendangan, penembakan,
penusukan, dan semua bentuk kekerasan fisik non seksual.
b)
Sexual
battering
Yang termasuk dalam
kategori kedua adalah semua kekerasan yang berkaitan dengan seksualitas seperti
pemukulan di payudara atau kelamin, dan perkosaan secara oral, anal, dan
vaginal.
c)
Psychological
battering
Kategori yang ketiga
ini selalu dianggap paling minimal dampaknya namun kenyataannya justru yang
paling menyakiti korban. Banyak perempuan yang mengalami kekerasan melaporkan
bahwa psychological battering
merupakan kekerasan yang paling merusak keadaan jiwa mereka.
d)
The destruction
pets and property
Kategori yang terakhir
ini merupakan kategori yang tidak lazim dilakukan oleh para pelaku kekerasan,
baik dalam segi sandang, papan, maupun properti lain milik korban.
Secara umum terdapat dua jenis kekerasan yang paling sering dialami oleh
para perempuan yaitu :
a)
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Masalah kekerasan
terhadap perempuan dalam rumah tangga dipengaruhi
banyak
faktor, bersifat kompleks, dan multidimensi. Merupakan komplikasi dari faktor
internal, seperti kegagalan hubungan interpersonal, disfungsi marital, personal
psikopatologi. Selain itu, faktor eksternal, khususnya struktrur sosial budaya
yang meminggirkan peran dan kedudukan perempuan.
Kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) atau kekerasan domestik adalah segala bentuk perilaku kekerasan
yang terjadi dalam lingkup kehidupan keluarga. Pelaku biasanya adalah sosok
yang mempunyai peran otoritas atau berstatus lebih kuat (suami atau orang tua),
sedangkan korban adalah anggota keluarga yang berstatus subordinat atau lebih
lemah (istri atau anak). Kekerasan dalam rumah tangga sering kali bersembunyidu
balik tatanan budaya paternalistik patriarki, yang menempatkan suami sebagai
sebagai kepala keluarga wajib dipatuhi. Istri sebagai ibu rumah tangga yang
wajib melayani. Selain itu, anak yang harus tunduk dan patuh kepada orang tua.
Dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan yaitu (Belknap,
1996 : 195) :
·
Battered women
syndrome
Merupakan sindroma psikologik yang ditemukan
pada perempuan hidup dalam siklus KDRT yang berkepanjangan. Dicirikan dengan
perilaku tak berdaya, menyalahkan diri, ketakutan akan keselamatan diri dan
anaknya, serta ketidakberdayaan untuk menghindar dari pelaku kekerasan.
·
Gangguan stres pascatrauma
Merupakan problem mental serius yang terjadi
pada korban yang mengalami penganiayaan luar biasa (perkosaan, penyiksaan, dan
ancaman pembunuhan). Ciri khas dari stres pascatrauma (PTSD) adalah penderita
tampak selalu tegang dan ketakutan, menghindari situasi – situasi tertentu,
gelisah, tidak bisa diam, takut tidur, takut sendirian, serta mimpi buruk,
seperti mengalami kembali peristiwa traumatisnya.
·
Depresi
Merupakan problem kejiwaan yang paling sering
ditemukan pada korban KDRT. Gejala yang khas adalah perasaan murung, kehilangan
gairah hidup, putus asa, perasaan bersalah dan berdosa, serta pikiran bunuh
diri sampai usaha bunuh diri. Gejala depresi sering terselubung dalam wujud
keluhan fisik, seperti kelelahan kronis, problem seksual, kehilangan nafsu
makan (atau sebaliknya), dan gangguan tidur.
·
Gangguan panik
Merupakan gangguan cemas akut yang sering
dijumpai korban KDRT. Penderita mengalami serangan ketakutan katastrofik bahwa
dirinya akan mati atau menjadi gila (biasanya didahului keluhan subjektif,
seperti sesak napas, perasaan tercekik, berdebar – debar, atau perasaan
durealisasi). Ganguan panik yang tidak ditangani dengan benar akan berkembang
menjadi agorafobia, yakni takut keramaian dan cenderung menghindar dari
kehidupan sosial.
·
Keluhan psikosomatis
Perempuan korban KDRT sering kali datang ke
fasilitas kesehatan dengan keluhan fisik kronis, seperti sakit kepala, gangguan
pencernaan, sesak napas, dan jantung berdebar. Namun, pada pemeriksaan medis
tidak ditemukan penyakit fisik. Kondisi ini disebut sebagai gangguan psikosomatis.
Keluhan psikosomatis bukan gangguan buatan atau sekadar upaya mencari
perhatian. Namun, merupakan penderitaan yang sungguh dirasakan penderita, yakni
konversi dari problem psikis yang tak mampu diungkapkan.
b)
Perkosaan
“Perkosaan
adalah hubungan seksual yang dilakukan tanpa kehendak
bersama,
dipaksakan oleh satu pihak pada pihak yang lainnya.
Korban dapat berada di bawah ancaman fisik dan
atau psikologis, kekerasan, dalam keadaan tidak sadar atau tidak berdaya, berada
di bawah umur, atau mengalami keterbelakangan mental sehingga tidak sunguh –
sungguh mengerti, atau dapat bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya” (Ihromi, 2000
: 278).
Sekitar tahun 1970,
perkosaan akhirnya diakui sebagai salah satu masalah sosial yang memfokuskan
dirinya pada perkosaan orang dewasa oleh orang asing. Terdapat dua jenis
perkosaan yakni stranger rapes dimana
korban dan pelaku tidak memiliki relasi dan acquaintance
rapes ketika pemaksaan aktivitas seksual dilakukan oleh orang yang dikenal
oleh korban (Belknap, 1996 : 141).
Selama perkembangannya,
perkosaan dilengkapi dengan beberapa mitos yang diyakini oleh masyarakat. Mitos
– mitos tersebut yaitu (Ihromi, 2000 : 278) :
a.
Korban mem”provokasi” pelaku dengan tindakan –
tindakan yang mengundang;
b.
Perempuan dapat menghindari terjadinya perkosaan;
c.
Perempuan mengaku diperkosa untuk membalas dendam,
mendapat santunan, atau karena ia punya karakteristik kepribadian khusus (misal
: ingin cari perhatian);
d.
Perkosaan hanya terjadi di daerah asing slum pada malam hari;
e.
Perkosaan dilakukan oleh laki – laki yang “sakit”
atau kriminal;
f.
Laki – laki yang sopan dapat terangsang untuk
memperkosa karena provokasi tindakan atau pakaian yang dikenakan perempuan; dan
g.
Perkosaan terjadi karena pelaku tidak dapat
mengendalikan impuls – impuls seksualnya.
Mitos – mitos ini tidaklah benar setelah data
menunjukkan bahwa mitos – mitos tersebut bertentangan dengan fakta – fakta yang
ada.
Seorang korban
perkosaan akan lebih menderita secara psikologis dibandingkan fisik.
Dari sisi fisik dapat terjadi luka – luka di
alat kelamin dan sekitarnya, anus, mulut, maupun bagian – bagian tubuh lain,
pendarahan, infeksi, dan penularan penyakit seksual, kehamilan bahkan kematian.
Sedangkan secara psikologis biasanya akan dimulai dengan beberapa reaksi
setelah kejadian perkosaan atau serangan seksual yaitu (Ihromi, 2000 : 279 –
280) :
a.
Fase akut (segera setelah serangan terjadi)
Pada fase ini individu mengalami shock dan rasa takut yang sangat kuat,
kebingungan, dan disorganisasi serta rasa lelah dan lemah yang intens. Karena
itu, terdapat kemungkinan korban tidak dapat menjelaskan secara rinci dan tepat
apa yang sesungguhnya terjadi pada dia, siapa penyerangnya, ciri – ciri
penyerang secara detil dan seterusnya.
b.
Fase kedua (adaptasi awal)
Individu menghayati emosi negatif seperti
pemberontakan, rasa marah ketakutan, terhina, rasa malu, dan jijik yang kemudian
dapat ditanggapi melalui represi dan pengingkaran (upaya untuk mencoba menutupi
pengalaman menyakitkan, menolak mengingat lagi atau minimalisasi, menganggap
yang terjadi bukan suatu hal yang sangat serius. Korban dapat menampilkan
ekspresi emosi yang sangat kuat (menangis, eksplosif) atau tampil tenang dan
dingin, seolah – olah tanpa penghayatan.
c.
Fase reorganisasi jangka panjang
Fase ini dapat membutuhkan waktu bertahun –
tahun hingga individu keluar dari trauma yang dialami dan sungguh – sungguh
menerima apa yang terjadi sebagai suatu yang faktual. Pada fase ini, individu
tidak jarang masih menampilkan ciri – ciri depresi, serta mengalami mimpi –
mimpi buruk atau kilas balik. Tidak jarang terjadi gangguan dalam fungsi dan
aktivitas seksual misalnya ketakutan pada seks, hilangnya gairah seksual, dan
ketidakmampuan menikmati hubungan seks. Bahkan mengalami dysparenuia (merasakan
sakit saat berhubungan seks) maupun vaginismus (kekejangan otot – otot vagina).
2.2 Beberapa Hal Pendorong
Kriminalitas
Berikut ini
merupakan hal - hal yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan kriminal
:
a. Diri Sendiri
Untuk terjadinya
suatu pelanggaran dibutuhkan dua unsur utama yaitu niat untuk melakukan suatu
pelanggaran dan kesempatan untuk melaksanakan niat tersebut. Apabila hanya
terdapat satu unsur saja dalam kedua unsur tersebut, maka pelanggaran tidaklah
mungkin terjadi. Terdapat beberapa faktor – faktor baik langsung maupun tidak
langsung yang dapat mempengaruhi kedua unsur ini. Faktor – faktor ini yaitu :
·
Faktor
– faktor langsung (faktor endogin)
Faktor - faktor endogin adalah
faktor – faktor yang berasal dari dalam diri orang itu sendiri yang
mempengaruhi tingkah lakunya, yaitu :
a) Cacat yang bersifat biologis dan psikis.
b) Perkembangan kepribadian dan intelegensi
yang terhambat sehingga tidak bisa menghayati norma – norma yang berlaku
(Widiyanti, 1987 : 116).
Faktor – faktor endogin ini
hanya mempengaruhi unsur niat.
·
Faktor
– faktor tidak langsung (faktor eksogin)
Faktor - faktor eksogin adalah faktor – faktor yang berasal dari luar diri
seseorang yang mempengaruhi tingkah lakunya, yaitu :
a) Pengaruh negatif dari orang tua;
b) Pengaruh negatif dari lingkungan sekolah;
c) Pengaruh negatif dari lingkungan
masyarakat;
d) Tidak ada/kurang pengawasan pemerintah;
e) Tidak ada/kurang pengawasan masyarakat;
f) Tidak/kurang pengisian waktu yang sehat;
g) Tidak ada pekerjaan;
h) Lingkungan fisik kota yang besar;
i)
Anonimitas
karena banyaknya penduduk kota – kota besar (Widiyanti, 1987 : 117)
Faktor – faktor eksogin dari
poin a hingga c mempengaruhi unsur niat, sedangkan poin d hingga k mempengaruhi
unsur kesempatan.
b. Keluarga
Keluarga merupakan
faktor utama kedua yang mempengaruhi seseorang melakukan tindak kejahatan.
Hubungan erat yang terjalin antara orang tua dengan anak semasa kecilnya hingga
dewasa menjadikan keluarga memainkan peranan penting dalam pembentukan pola –
pola tingkah laku seseorang.
Keluarga dapat diartikan sebagai :
“The family is a social group characterized
by common residence, economic cooperation, and reproduction. It includes adults
of whom maintain a socially approved, own or adopted to the sexually cohabiting
adults” (Spiro, 1954 : 839).
Terdapat beberapa kondisi dalam keluarga
yang menjadi faktor penyebab seseorang menjadi seorang kriminal yaitu :
a) Anggota – anggota keluarga yang lainnya
juga penjahat, pemabuk, dan imoral.
b) Tidak adanya satu orang tua atau kedua –
duanya karena kematian, perceraian, atau melarikan diri.
c) Kurangnya pengawasan orang tua, karena
masa bodoh, cacat inderanya, atau sakit.
d) Ketidakserasian karena adanya yang “main
kuasa sendiri”, iri hati, cemburu, terlalu padatnya anggota keluarga, atau
pihak lain yang turut campur.
e) Perbedaan rasial dan agama, ataupun
perbedaan adat istiadat, rumah piatu, panti – panti asuhan.
f) Tekanan ekonomi, seperti pengangguran,
kurangnya penghasilan, ibu yang bekerja di luar (Martasaputra, 1973 : 271).
2.3 Kepedulian Hukum Terhadap Kekerasan Pada
Perempuan
Beragam kebijakan hukum telah dibuat untuk
menanggulangi masalah kekerasan pada perempuan. Terutama dari segi nasional,
Indonesia, terdapat beberapa sumber hukum yang memiliki sumber utama dari
Konvensi Wanita yaitu :
a) Hukum Perdata
Mencakup pembahasan mengenai diskriminasi
yang mengacu pada pasal 1 dan pasal 2 Konvensi Wanita, lalu pasal 5 mengenai
hal – hal yang berkaitan dengan pola tingkah laku sosial dan budaya pria dan
wanita sebagai salah satu sumber terjadinya diskriminasi. Lalu pasal 16
mengenai penghapusan diskriminasi dalam semua unsur yang berhubungan dengan
perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan pria dan wanita.
Terakhir, pasal 15 mengenai kedudukan pria dan wanita yang sama di muka hukum.
b) Hukum Pidana
Dalam hukum pidana Indonesia mencakup
sumber hukum pidana (Konvensi Wanita yang diratifikasi melalui UU No. 7/1984 dan
Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan). Bagian – bagian dalam KUHP
(Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) mengacu pada Konvensi Wanita pasal 6 yaitu
:
·
Delik
kesusilaan (pemerkosaan, aborsi, perdagangan wanita);
·
Delik
terhadap badan atau nyawa (termasuk kekerasan dalam keluarga);
·
Delik
terhadap harta benda.
Satu delik terakhir yang berada di luar
KUHP yakni subversi (Konvensi Wanita pasal 9, Deklarasi Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan pasal 3).
c) Hukum Islam
keluarga dan Konvensi Wanita (penghapusan
diskriminasi dalam bidang perkawinan dan hubungan kekeluargaan) serta mengenai
diskriminasi (Konvensi Wanita pasal 1) dan pola tingkah laku sosial budaya laki
– laki dan wanita (Konvensi Wanita pasal 5) sebagai salah satu sumber
diskriminasi.
d) Hukum Perburuhan
Mencakup pembahasan mengenai diskriminasi
dan eksploitasi (Konvensi Wanita pasal 1), penghapusan diskriminasi terhadap
perempuan dalam bidang ketenagakerjaan (Konvensi Wanita pasal 11), Konvensi ILO
No. 100, isu – isu kekerasan terhadap buruh perempuan di pabrik maupun buruh
imigran perempuan (Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan pasal 1,
2) dan hak – hak sipil dan politk perempuan (Konvensi Wanita pasal 7).
Terdapat beberapa hukum lain di Indonesia
yang isinya terdapat kaitan dengan kekerasan terhadap perempuan yaitu hukum
tata negara, hukum administrasi negara, hukum internasional, hukum acara
pidana, hukum acara perdata, hukum adat, hukum pajak, dan hukum agraria. Sumber
hukum utama yang mendasari daripada semua hukum nasional tentang kekerasan pada
perempuan adalah Konvensi Wanita atau Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women yang dibuat
pada tahun 1979. Konvensi ini adalah konvensi mengenai penghapusan segala
bentuk diskriminasi terhadap wanita yang diterima oleh negara – negara anggota
PBB berdasarkan suatu pertimbangan hukum, bahwa diskriminasi terhadap wanita
merupakan pelanggaran terhadap asas – asas persamaan hak dan rasa hormat
terhadap martabat manusia (Ihromi, 2000 : 120). Konvensi yang terdiri dari 30
pasal ini meletakkan kewajiban kepada negara penandatangan maupun peserta
konvensi untuk melakukan tindakan yang bertujuan menghapus segala bentuk
diskriminasi terhadap wanita di berbagai bidang kehidupan. Terdapat enam bidang
yang mendapat perhatian dan pengaturan dalam konvensi ini yaitu bidang sosial
budaya, bidang politik, bidang hukum, bidang ketenagakerjaan, bidang ekonomi,
dan bidang sipil.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perkosaan dan pelecehan istri (kekerasan
dalam rumah tangga) adalah yang paling umum terjadi di antara banyak kasus lain
tentang kekerasan terhadap perempuan. Perempuan pun bukan satu – satunya pihak
utama yang bertanggung jawab untuk hal ini namun lebih kepada laki – laki dan
patriarki sosial. Keluarga yang dikenal masyarakat sebagai tempat berlindung
yang aman tidak dapat menjadi satu – satunya tempat perempuan mencari
pertolongan. Pada akhirnya, kedua tipe kekerasan ini bukanlah hal yang jarang
terjadi namun sangat sering dan membutuhkan penanganan yang lebih serius.
3.2 Saran
Menurut Suparman Marzuki terdapat beberapa
hal – hal yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi kekerasan pada perempuan
berhubungan dengan pembentukan dan perubahan hukum yaitu :
a) Pembaharuan KUHP, khususnya pasal-pasal
yang berkaitan dengan kesusilaan;
b) Pembentukan aturan hukum Pembantu Rumah
Tangga (PRT);
c) Pembaharuan KUHAP, dan
d) Mengkaji muatan pasal-pasal rencana
menjadikan KOMNAS HAM sebagai institusi yang memiliki kekuatan yudisial,
termasuk rencana pembentukan pengadilan pelanggaran HAM.
Penanggulangan kekerasan pada
perempuan pun harus melibatkan seluruh lapisan, baik individu, masyarakat,
maupun pemerintah. Berikut ini merupakan cara – cara yang dapat kita lakukan
untuk pencegahan maraknya kekerasan pada perempuan :
a)
Tidak
melakukan semua jenis kekerasan (emosional, fisik, seksual, maupun ekonomi).
b)
Tidak
mau menjadi korban KDRT.
c)
Melindungi
dan senantiasa berpihak pada korban KDRT.
d)
Melaporkan
pada yang berwajib bila menyaksikan tindakan kekerasan pada perempuan.
e)
Membantu
korban kekerasan untuk mendapatkan pertolongan.
DAFTAR PUSTAKA
Dispulahta POLRI. 1991. POLRI Dalam
Angka. Jakarta : Dispuhlanta POLRI.
Martasaputra, Momon. 1963. Asas –
Asas Kriminologi. Bandung : Alumni
Morris, Allison. 1987. Women, Crime
And Criminal Justice. Great Britain : Billing and Sons Ltd.
Pfohl, Stephen. 1994. Images of
Deviance and Social Control. USA : McGraw Hill, Inc.
Purnianti dan Kemal Darmawan. 1994. Mashab
dan Penggolongan Teori Dalam Kriminologi. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Tong, Rosemarie. 1984. Women, Sex,
and the Law. New Jersey : Rowman & Allanheld.
Vold, George B. 1979. Theoretical
Criminology. Oxford : Oxford University Press.
Widiyanti, Ninik dan Yulius Waskita. 1987. Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya. Jakarta : PT. Bina
Aksara.
No comments:
Post a Comment