BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Sejak diberlakukannya Undang Undang No.
22 Tahun 1999 dan kemudian dirubah menjadi Undang Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagai penganti Undang Undang No. 5 Tahun 1974, diskusi
tentang efektivitas pelayanan publik dalam otonomi daerah menjadi semakin menarik
untuk dibicarakan.
Permasalahannya karena sudah 2 (dua) kali
perubahan undang-undang tersebut dilakukan, namun peningkatan pelayanan publik publik
sebagai sasarannya selalu dipertanyakan, bahkan ada diskusi yang membahas bahwa
Undang Undang No. 32 Tahun 2004 perlu lagi perubahan.
Undang-undang ini merupakan implimentasi pasal
18 ayat (1) UUD 1945 yang mengatakan bahwa Negara Republik Indonesia merupakan
negara kesatuan yang dibagi atas daerah-daerah propinsi dan propinsi terdiri
dari daerah kabupaten dan kota yang mempunyai pemerintahan daerah yang diatur
dalam undang-undang. Selanjutnya, pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa pemerintah
daerah propinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas perbantuan. Dalam menjalankan
otonomi dan tugas perbantuan, kecuali urusan pemerintah pusat, pemerintah
daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain sesuai dengan
ketentuan berlaku.
Pada dasarnya, maksud pasal 18 UUD 1945
tersebut adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Selanjutnya
dijelaskan bahwa pemerintahan daerah dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan antar susunan pemerintahan
antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem
Negara Kesatuan RI. Dalam berbagai aspek UU No. 32 Tahun 2004 mengatur hubungan
keuangan pusat dan daerah, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya secara adil dan selaras.
Di samping itu, dalam menjalankan
perannya, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian
hak dan kewajiban menyelenggarakan Otonomi Daerah dalam kesatuan sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Masalah pelayanan publik di Indonesia
masih sangat memprihatinkan, karenanya pemerintah masih perlu membuat strategi
dan kebijakan agar dapat memenuhi hak azazi warga negara dan membutuhkan solusi
menyeluruh untuk membuat pelayanan publik yang baik. Sebagai gambaran dan
fenomena pelayanan publik di Provinsi Sumatera Barat saat ini seperti terlihat
rendahnya tingkat kinerja aparatur penyelenggara pemerintahan di daerah. Indikasi
menunjukan bahwa Pemerintah Daerah melalui Peraturan Gubenur Sumatera Barat
Nomor 74 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Tahun 2006 - 2010 menempatkan hal ini sebagai skala prioritas utama. Dalam bagian IV, (Agenda penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang baik dan bersih Bab II diatur tentang Peningkatan
Kualitas Pelayanan Publik) yang menerangkan bahwa berdasarkan hasil identifikasi dalam pembinaan pelayanan
publik masih banyak permasalahan yang
perlu ditindaklanjuti dan diselesaikan seperti : belum kompetitif, transfaran
dan akuntabilitas proses pelayanan publik, rendahnya etos kerja aparatur, pelayanan
publik belum didukung oleh teknologi informasi serta belum ada instrumen yang
jelas untuk mengevaluasi kualitas pelayanan.
Sasaran yang
hendak dicapai dalam peningkatan kualitas pelayanan publik tahun 2006-2010 ke
depan adalah :
1.
Terlaksananya pelayanan publik kepada masyarakat
sesuai dengan standar layanan yang ditetapkan.
2.
Tercapainya transparansi dalam proses pelayanan
publik.
3.
Meningkatnya etos kerja, profesionalisme dan kompetensi
aparatur.
4.
Meningkatnya kemandirian masyarakat dalam
mendapatkan pelayanan publik.
5.
Meningkatnya pengguna teknologi informasi dalam
pemberian pelayanan publik.
6.
Meningkatnya peran masyarakat terhadap penilaian
kinerja aparatur pelayanan publik.
Dalam RPJMD tersebut
ditetapkan arah kebijakan, program pengembangan
pelayanan publik dan pengembangan partisipasi publik (masyarakat) yang berada
dalam agenda penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bersih bersamaan dengan
sub-sub agenda lainnya, yaitu : peningkatan kemampuan pemerintah daerah, peningkatan
kualitas pelayanan publik, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, pembangunan
hukum dan perlindungan hak azazi manusia, peningkatan keamanan dan ketertiban.
Dengan
demikian "masalah" Pelayanan publik sudah diakomodir dalam suatu konsepsi
dan strategi kebijakan untuk kurun waktu
2006-2010 mendatang yakni dengan isu bagaimana meningkatkan kualitas pelayanan
publik tersebut dari tahun ke tahun yang disinyalir seakan-akan berjalan di
tempat.
Berdasarkan
fakta dalam RPJMD Propinsi Sumatera Barat, betapa rendahnya kualitas pelayanan
publik tersebut, salah satu diantaranya terdapat pada Perangkat Daerah/Dinas (Satuan
Kerja Perangkat Daerah) yaitu Dinas Pendapatan Daerah. Fakta lain menjelaskan,
walaupun jumlah penerimaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah
(PAD) cenderung menunjukan peningkatan dan memberikan kontribusi yang besar terhadap
penerimaan daerah, pencapaian hasil relatif masih dibawah target. Khususnya pencapaian target (realisasi)
penerimaan pajak daerah dari sub-sektor Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea
Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB).
Bertitik
tolak dari fakta dan kenyataan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dan penulisan ilmiah dengan menyingkap dan menganalisanya secara mendalam
dengan penekanan yang diarahkan kepada peningkatan pelayanan publik terutama
terhadap sub sektor pajak daerah yang berasal dari pajak kendaraan bermotor dan
bea balik nama kendaraan bermotor melalui Dinas Pendapatan Daerah Cq. UPTD Pelayanan
Pendapatan Provinsi Sumatera Barat di Padang, melalui Kantor Bersama SAMSAT.
Pelaksanaan
pelayanan publik yang diselenggarakan oleh unit pelayanan Kantor Bersama SAMSAT
ini terdapat 3 unit kerja yang terkait dan berhubungan, yaitu pihak Pemerintah Provinsi
c.q. Dinas Pendapatan Daerah, Polri c.q. Kepolisian Daerah dan PT. AK Jasa
Raharja. Dengan adanya 3 unit kerja masalah yang ditemukan dalam pelayanan
adalah bertemunya 3 (tiga) kepentingan yang berbeda yang saling membutuhkan dan
saling berhubungan, namun menyatu dan saling berkaitan (Simbiose Mutualistis).
Ketiga unit
kerja ini sama-sama bertujuan memberikan pelayanan publik secara prima kepada
masyarakat. Pihak Pemda dalam memberikan pelayanan bertujuan untuk peningkatan
penerimaan daerah yang diperlukan bagi keperluan dana pembangunan yang berasal
dari sumber-sumber PAD, sedangkan di pihak lain Polda lebih berkepentingan
dalam masalah pengidentifikasian kepemilikan dan keamanan.
Pengelolaan
kebijakan melalui Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) sudah sesuai
dengan maksud Undang Undang 32 Tahun 2004, namun efektivitas keberadaan pola dan
sistem SAMSAT masih perlu penyempurnaan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan
kajian karena sepengatahuan penulis belum ada yang menelaahnya, terutama bila
dikaitkan dengan suasana dan nuansa tuntutan tatanan Pemerintahan yang Baik dan
Bersih (Good Governance and Clean Government). Penulisan dan
penganalisaan mempedomani teori-teori menurut Ilmu Hukum Administrasi Negara,
dikaitkan dengan aspek normatif dari berbagai ketentuan peraturan perundangan dengan
judul : Efektivitas Pelayanan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor pada Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Sumatera Barat (Suatu
Kajian Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara).
B. Rumusan Permasalahan
Adapun pokok
bahasan penelitian ini, akan ditinjau dari perspektif Hukum Administrasi Negara
yakni :
a.
Sejauh mana pelayanan publik di bidang perpajakan pada
Dispenda cq. UPTD Pelayanan Pendapatan Prop. Sumbar di Padang melalui Kantor Bersama
Samsat terhadap Pengelolaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor (PKB dan BBN-KB) efektivitasnya (efektif dan efisien) mewujudkan "Pemerintahan
Yang Baik dan Bersih (Good Governance and Glean Government)?
b.
Faktor-faktor dominan apa saja yang mempengaruhi efektivitas
pelayanan sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) kepada wajib pajak agar
sejalan dengan peningkatan pemasukan pendapatan daerah (pemungutan Pajak
Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor) baik secara
intensifikasi maupun ekstensifikasi?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui efektivitas pelayanan umum
yang diberikan oleh instansi Pemerintah
Provinsi Sumatera Barat Cq. Dinas Pendapatan Daerah cq. UPTD PPP di Padang,
melalui kantor bersama SAMSAT kepada wajib pajak (masyarakat pemilik kendaraan bermotor).
Mengetahui peranan dan fungsi UPTD
PPP di Padang dalam mengelola kewenangannya dalam mengelola sumber pendapatan daerah
yang menjadi tugas dan urusan sesuai dengan kewenangan dalam kompetensi wilayah
administratifnya sesuai ketentuan perundang-undangan.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat
Teoritis
Manfaat teoritis
dari hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi dan sumbangan pemikiran
untuk pengembangan Hukum Administrasi Negara di Bidang Tata Pemerintahan Daerah
pada umumnya, serta Hukum Perpajakan/Pajak Daerah pada khususnya.
Manfaat
Praktis
Manfaat praktis, hasil
penelitian diharapkan sebagai kontribusi sumbangan pemikiran dalam upaya
meningkatkan kinerja SKPD serta kualitas kerja aparat pemerintahan daerah dalam
memberikan pelayanan publiknya kepada wajib pajak/masyarakat.
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1
Kerangka Teoritis
1) Otonomi Daerah
Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan
pemerintah daerah, juga sangat berkaitan dengan desentralisasi. Baik
pemerintahan daerah, desentralisasi maupun otonomi daerah, adalah bagian dari
suatu kebijakan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan, tujuannya adalah demi
terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju dan sejahtera, setiap orang
bias hidup tenang, nyaman, wajar oleh karena memperoleh kemudahan dalam segala
hal di bidang pelayanan masyarakat.
Oleh karena itu keperluan otonomi di tingkat lokal pada
hakekatnya adalah untuk memperkecil intevensi pemerintah pusat kepada daerah.
Dalam Negara Kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh
pemerintah pusat (central government), sedangkan pemerintah daerah hanya
menerima penyerahan dari pemerintah pusat. Berbeda halnya dengan otonomi daerah
di Negara federal, dimana otonomi daerah sudah melekat pada negara-negara
bagian.
Secara normatif, penyerahan kewenangan pemerintah pusat
kepada pihak lain (pemerintah daerah) untuk dilaksanakan disebut dengan
desentralisasi. Desentralisasi sebagai suatu system yang dipakai dalam system
pemerintahan merupakan kebalikan sentralisasi. Dalam system sentralisasi,
kewenangan pemerintah baik di pusat maupun di daerah, dipusatkan dalam tangan pemerintahan
pusat.
Dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara yang
menganut prinsip pemencaran kekuasaan secara vertikal, membagi kewenangan
kepada pemerintah daerah bawahan dalam bentuk penyerahan kewenangan. Penerapan
prinsip ini melahirkan model pemerintahan daerah yang menghendaki adanya
otonomi dalam penyelenggaraannya. Dalam sistem ini, kekuasaan negara terbagi
antara pemerintah pusat di satu pihak dan pemerintah daerah di lain pihak.
Penerapan pembagian kekuasaan dalam rangka penyerahan kewenangan otonomi
daerah, antara negara yang satu dengan negara yang lain tidak sama, termasuk
Indonesia yang menganut negara kesatuan.
Philip Mawhood menyatakan desentralisasi adalah pembagian
dari sebagian kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang berkuasa di pusat
terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otorisasi dalam
wilayah tertentu suatu negara.
Sementara itu, B.C. Smith mendefenisikan desentralisasi
sebagai proses melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah yang mensyaratkan
terdapatnya pendelagasian kekuasaan (power) kepada pemerintah bawahan
dan pembagian kekuasaan kepada daerah. Pemerintah pusat diisyaratkan untuk
menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah Daerahseagai wujud pelaksanaan
desentralisasi.
Tujuan desentralisasi secara umum oleh Smith dibedakan
atas 2 (dua) tujuan utama, yakni tujuan politik dan ekonomis. Secara politis,
tujuan desentralisasi antara lain untuk memperkuat pemerintah daerah, untuk
meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintah dan
masyarakat, dan untuk mempertahankan integritas nasional. Sedangkan secara
ekonomi, tujuan desentralisasi, antara lain adalah untuk meningkatkan kemampuan
pemerintah daerah dalam menyediakan public good and service, serta untuk
meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembangunan ekonomi di daerah.
Sedangkan D. Juliantara, dkk memberikan pengertian
desentralisasi dengan merujuk pada asal katanya, bahwa istilah desentralisasi
berasal dari bahasa latin, de artinya lepas dan centrum artinya
pusat. Lebih jauh ia menyebutkan desentralisasi yang dimaknai dalam konteks
yang lebih luas, bahwa konstek negara-negara demokrasi modern, kekuasaan
politik diperoleh melalui pemilihan umum yang diselenggarakan secara regular
dan serentak di setiap daerah untuk memberikan legitimasi terhadap tugas dan
wewenang lembaga-lembaga politik di tingkat nasional dan juga di tingkat local
sendiri. Dengan kata lain, kekuasaan pemerintah daerahlah yang memintah dan
menarik kembali sebagian kewenangan yang telah diberikan kepada pemerintah
pusat, bukan karena kebaikan hati pemerintah pusat.
Dengan demikian jelaslah, bahwa desentralisasi akan
melahirkan otonomi daerah dan bahkan kadangkala sulit untuk membedakan
pengertian diantara keduanya secara terpisah. “Desentralisasi dan otonomi
daerah bagaikan dua sisi mata uang yang saling memberi makna satu sama lainnya.
Lebih spesifik, ungkin tidak berlebihan ila dikatakan ada atau tidaknya otonomi
daerah sangat ditentukan oleh beberapa jauh wewenang yang telah
didesentralisasikan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Itulah
sebabnya, dalam studi Pemerintahan Daerah, para analis sering menggunakan
istilah desentralisasi dan otonomi daerah secara bersamaan, interchange”.
Adanya otonomi daerah dalam negara, dilatarbelakangi oleh
pengalaman masa lalu dimana keberadaan negara hanya dianggap sebagai instrument
oleh kaum kapitalis. Kondisi ini kemudian melahirkan konsep Marxis tentang Instrumental
State. Demikian halnya paham Sosialis yang menghendaki adanya otonomi dari
pengaruh partai politik (partai komunis) yang cenderung mengintervensikan
kehidupan negara. Dalam hubungan ini negara menginginkan otonomi untuk
memperkecil dan bahkan menghilangkan pengaruh-pengaruh ataupun intervensi
kaum-kaum kapitalis dan sosialis. Berbeda halnya dengan pemberian otonomi
dengan pemerintah local, yaitu untuk memperbesar kewenangan mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri.
Oleh karena itu, keperluan otonomi di tingkat local pada
hakikatnya adalah untuk memperkecil intervensi pemerintah pusat kepada daerah.
Dalam negara kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh
pemerintah pusat (central government), sedangkan pemerintah daerah hanya
menerima penyerahan dari pemerintah pusat. Berbeda halnya dengan otonomi daerah
di negara federal, di mana otonomi daerah sudah melekat pada negara-negara
bagian.
Reuter, mengemukakan, desentralisasi adalah sebagian
pengakuan atas penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi
kepada badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan
pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan dalam
pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi. Dalam hal itu Rondineli,
mengatakn bahwa desentralisasi dari arti luas mencakup setiap penyerahan
kewenangan dari pemerintah pusat baik kepada daerah maupun kepada pejabat
pemerintah pusat yang ditugaskan di daerah.
Koeswara, mengemukakan, bahwa pengertian desentralisasi
pada dasarnya mempunyai makan bahwa melalui proses desentralisasi urusan-urusan
pemerintahan yang semua termasuk wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat,
sebagian diserahkan kepada badan/lembaga pemerintahan di daerah.
Prakarsa untuk menemukan prioritas, memilih alternatif
dan mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan daerahnya, baik dalam hal
menentukan kebijaksanaan, perencanaan, maupun pelaksanaan sepenuhnya diserahkan
kepada daerah.
Lebih dalam lagi, bila kita cermati prinsip-prinsip hukum
dalam pengelolaan masalah-masalah bangsa (nation affairs) ke depan governance
dikatakan baik (good atau sound) apabila sumber daya dan
masalah-masalah publik dikelola secara efektif dan efisien serta aspiratif yang
didasarkan kepada transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat serta rule
of law.
Oleh karena itu
pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola
masalah-masalah layanan tersebut perlu memperhatikan prinsip-prinsip hukum
pengelolaan sumber daya yang dimiliki, seperti prinsip good governance,
subsidiarity, equity, privaty use, prier appropriation (first in time, first in
right), sustainable development, good sustainable development govermance dan participatory development.
Menurut peneliti
prinsip subsidiarity dalam pelaksanaan otonomi daerah dalam koridor Negara
Kesatuan Republik Indonesia sangat relevan dan tepat dipedomani dan diterapkan
dalam pengelolaan sumber daya pendapatan daerah, karena menurut teori
subsidiarity secara lugas dan tegas dikatakan bahwa kewenangan yang telah
diberikan oleh pemerintah tingkat lebih atas (pusat) kepada pemerintah tingkat
lebih rendah (seperti provinsi dan atau kabupaten/kota) akan dapat ditarik
kembali oleh tingkat lebih atas bila ternyata tingkat lebih rendah yang
menerimanya tidak dapat melaksanakan kewenangan (urusan/administrasi)-nya
sebagai mana mestinya.
Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa kemampuan pemerintah provinsi dalam menjalankan urusan
otonomi daerahnya di bidang perpajakan including/ termasuk di dalamnya
pemberian pelayanan publik yang baik terhadap wajib pajak sektor tertentu jelas
akan menjadi ukuran tingkat kemampuan yang realistas bagi suatu pemerintah
provinsi tersebut.
Artinya bila
pemerintah provinsi ternyata tidak mampu mengelola kewenangan dan administrasi
pengelolaannya dengan baik, maka pemerintah pusat memiliki otoritas penuh untuk
menarik kembali penyerahan/pemberian kewenangan untuk mengelola urusan seperti
kewenangan mengelola/memungut pajak daerah tertentu.
Berdasarkan
penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa salah satu tujuan otonomi yaitu
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang semakin baik. Untuk itu dengan desentralisasi
diharapkan daerah akan memberikan pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan
sistem sentralistik. Pelayanan pemerintah dengan sistem sentralistik. Pelayanan
pemerintah di era otonomi, diharapkan akan lebih baik dan aspiratif, sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sasaran dari kemandirian daerah adalah agar daerah dapat
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Kertergantungan daerah terhadap
pusat dalam pengambilan berbagai keputusan publik diminimalkan. Diharapkan keputusan
publik yang dibuat oleh daerah bagi kepentingan masyarakatnya akan lebih
cermat, lebih tepat dan lebih cepat atau dengan kata lain pelayanan akan lebih
berdaya guna dan berhasil guna.
Kemandirian daerah ini adalah dimaksudkan untuk tujuan
pemberian pelayanan yang efisien, partisipatif dan akhirnya peningkatan daya
saing daerah. Keputusan publik yang cermat, tepat dan cepat itu adalah
merupakan cerminan dari efisiensi pelayanan. Pendirian sebuah sekolah dikatakan
efisien bila daya tampungnya terpenuhi. Keputusan pembuatan jalan raya efisien
bila jalan tersebut bermanfaat oleh masyarakat yang ada di sekitarnya. Begitu
juga halnya dengan pendirian rumah sakit pada lokasi tertentu.
Dalam rangka itu reposisi daerah hendaknya dipahami
sebgai upaya mengaktualisasikan berbagai potensi dan aspirasi masyarakat
daerah, sehingga rakyat di daerah dapat mengekspresikan kepentingan dan
kehendaknya. Untuk itu pemerintah daerah perlu menyusun kerangka kerja yang
memungkinkan terserapnya berbagai potensi dan aspirasi rakyat terutama prinsip
pelayanan.
Mengingat tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah
untuk menjaga sistem ketertiban di dalam masyarakat, sehingga bisa menjalani
kehidupannya secara wajar. Pemerintah diadakan tidaklah untuk melayani dirinya
sendiri tetapi juga untuk melayani masyarakat, dalam mengembangkan kemampuan
dan kreatifitasnya demi mencapai tujuan bersama.
Untuk mencapai pelaksanaan pelayanan umum tersebut
dibutuhkan oaparatur yang berkualitas, memiliki kemampuan dalam melayani,
memenuhi kebutuhan, menanggapi keluhan masyarakat secara memuaskan, sesuai
dengan ekspektasi (harapan) mereka melalui kebijaksanaan, perangkat hukum yang
berfungsi sebagai acuan dalam pengendalian, pengaturan agar kekuatan sosial dan
aktivitas masyarakat tidak membahayakan negara dan bangsa.
Teori pemerintahan modern mengajarkan bahwa untuk
mewujudkan good governance perlu dijalankan desentralisasi pemerintahan.
Dengan desentralisasi pemerintahan maka pemerintahan akan semakin dekat dengan
rakyat. Asumsinya pemerintahan yang dekat denagn rakyat, maka pelayanan yang
diberikan menjadi lebih cepat, hemat, murah, responsif, inovatif, akomodatif
dan produktif. Ryaas Rasyid mengatakan ”the
closer givernment, the better it service”. Dalam desentralisasi terkandung
makna otonomi dan demokratisasi. Dua kata tersebut yakni otonomi dan demokrasi
tidak mungkin dipisahkan, ia ibarat dua sisi mata uang yang satu dan yang lain
saling memberi nilai. Otonomi tanpa demokratisasi merupakan suatu keniscayaan dan sebaliknya
demokratisasi tanpa otonomi adalah kebohongan. Dalam sejarah otonomi di
Indonesia sejak kemerdekaan memang sarat dengan kebohongan. Yuridis formal
dalam undang-undang pemerintahan daerah otonomi diakui, tetapi dalam
implementasinya terjadi pemasungan-pemasungan melalui filter-filter yuridis
peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut, akibatnya kemandirian dan
otoaktivitas daerah menjadi tersumbat. Hal itulah yang kemudian melahirkan
resistensi daerah terhadap pusat yang sangat menguras energi menyelesaikannya.
Adanya otonomi kebijakan otonomi khusus bagi Propinsi Aceh dan Irian Jaya
memang lahir di tengah derasnya tuntutan disintegrasi. Hal itu jika pusat
menyadari secara filosofis dan sosiologis otonomi yang dibangun bikan linear
atau simetris tetapi suatu asymmetric decentralization.
2) Pelayanan Umum
Pelayanan
pemerintahan daerah merupakan tugas dan fungsi utama pemerintah daerah. Hal ini
berkaitan dengan fungsi dan tugas pemerintahan secara umum, yaitu memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Dengan pemberian pelayanan yang baik kepada
masyarakat, maka pemerintah akan dapat mewujudkan tujuan negara yaitu
menciptakan kesejahteraan masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat tersebut
terintegrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pelayanan
publik berhubungan dengan pelayanan yang masuk kategori sektor publik, bukan
sektor privat. Pelayanan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah
daerah dan BUMN/BUMD. Ketiga komponen yang menangani sektor publik tersebut
menyediakan layanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan
ketertiban, bantuan sosial dan penyiaran. Dengan demikian yang dimaksud
pelayanan publik adalah pelayanan yang diberikan oleh negara/daerah dan
perusahaan milik negara kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya
dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah
baik pusat maupun daerah mempunyai tiga fungsi utama : 1) memberikan pelayanan (service)
baik pelayanan perorangan maupun pelayanan publik/khalayak, 2) melakukan
pembangunan fasilitas ekonomi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (development
for economic growth), dan 3) memberikan perlindungan (protective)
masyarakat. Sebagai fungsi public services, pemerintah wajib memberikan
pelayanan publik secara perorangan maupun khalayak/publik. Pelayanan untuk
orang perorangan misalnya pemberian KTP, SIM, IMB, Sertifikat tanah, paspor,
surat izin dan keterangan. Pelayanan publik misalnya pembuatan lapangan
sepakbola, taman kota, hutan lindung, trotoar, waduk, taman nasional, panti
anak yatim/jompo/cacat/miskin, tempat pedagang kaki lima dan lain-lain.
Oleh
karena itu pemerintah daerah wajib memberikan pelayanan perorangan dengan biaya
murah, cepat dan baik, harus mendapatkan
pelayanan yang sama. Disamping itu juga harus diperlakukan oleh petugas dengan
sikap yang sopan dan ramah. Semua orang tanpa kecuali baik kaya, miskin,
pejabat, orang biasa, orang desa atau kota, harus diperlakukan sama.
Tidak
boleh dibeda-bedakan baik dengan sikap, biaya maupun waktu penyelesaian.
Pelayanan pemerintah daerah kepada khalayak juga harus adil dan merata.
Pemerintah Daerah tidak boleh menganakemaskan atau menganaktirikan kelompok
masyarakat tertentu, sehingga yang satu diberi lebih dan yang lain diberi
sedikit.
Dengan
demikian pelayanan publik oleh pemerintah daerah harus dapat memuaskan publik.
Untuk mengetahui sejauh mana kualitas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah
daerah bisa diukur dengan indikator-indikator : mudah, murah, cepat, tidak
berbelit, petugasnya murah senyum, petugasnya membantu jika ada kesulitan, adil
dan merata serta memuaskan.
3) Kualitas Pelayanan
Vincent
Gesperz, mengemukakan bahwa kualitas pelayanan, meliputi dimensi-dimensi
berikut :
-
Ketaatan waktu pelayanan, berkaitan dengan waktu tunggu dan waktu proses
-
Akurasi pelayanan, berkaitan dengan keakuratan pelayanan dan bebas dari
kesalahan-kesalahan.
-
Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan, berkaitan dengan
prilaku orang-orang yang berintegrasi langsung kepada pelanggan eksternal.
-
Tanggung
jawab, berkaitan dengan penerimaan pesanan dan penanganan keluhan pelanggan
eksternal (masyarakat).
-
Kemudahan
mendapatkan pelayanan, berkaitan dengan banyaknya petugas yang melayani dan
fasilitas pendukung.
-
Kenyamanan
mendapat pelayanan, berkaitan dengan lokasi, ruangan tempat pelayanan, tempat
parkir, ketersediaan informasi dan petunjuk panduan lainnya.
-
Atribut
pendukung lainnya, seperti lingkungan, kebersihan, ruang tunggu, fasilitas
musik, AC, dan lain-lain.
Vincent
Gesperz juga mengemukakan manajemen perbaikan kualitas yang dikenal dengan
konsep Vincent.
Konsep ini
terdiri dari strategi perbaikan kualitas yaitu :
-
Visionary
transformation
(tranformasi misi)
-
Infrastructure
(infrastruktur)
-
Need for Improvement (kebutuhan untuk
perbaikan)
-
Customer Focus (Fokus Pelanggan)
-
Empowerment (Pemberdayaan)
-
NewViews of Quality (pandangan baru
tentang kualitas)
-
Top
Management ( Komitmen
manajemen puncak)
4) Prinsip Good Governance
Word Bank maupun UNDP mengembangkan istilah baru
yaitu ”governace” sebagai pendamping kata ”government”. Istilah
tersebut sekarang sedang sangat populer digunakan dikalangan akademisi maupun
masyarakat luas. Kata ”governace” kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia dalam berbagai kata. Ada yang menterjemahkan menjadi ”tata pemerintahan”,
ada pula yang menterjemahkan menjadi ”kepemerintahan”.
Perubahan
penggunaan istilah dengan pengertiannya akan mengubah secara mendasar
pratek-pratek penyelenggaraan pemerintahan di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia. Perubahannya akan mencakup tiga dimensi yaitu dimensi struktural,
dimensi fungsional serta dimensi kultural. Perubahan struktural menyangkut
struktur hubungan antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah,
struktur hubungan antara eksekutif dan legislatif maupun struktur hubungan
antara pemerintah dengan masyarakat. Perubahan fungsional menyangkut perubahan
fungsi-fungsi yang dijalankan pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun
masyarakat. Sedangkan perubahan kultural menyangkut perubahan pada tata nilai
dan budaya-budaya yang melandasi hubungan kerja intraorganisasi,
antarorganisasi maupun eksraorganisasi.
United
Nation Development Programe (UNDP), memberikan batasan pada kata governance sebagai “pelaksanaan
kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah
bangsa”. Governance dikatakan baik (good atau sound) apabila
sumber daya publik dan masalah-masalah publik dikelola secara efektif dan
efisien, yang merupakan respon terhadap kebutuhan masyarakat. Tentu saja
pengelolaan yang efektif dan efisien dan responsive terhadap kebutuhan rakyat
menuntut iklim demokrasi dalam pemerintahan, pengelolaan sumber daya alam dan
pengelolaan masalah-masalah publik yang didasarkan pada keterlibatan
masyarakat, akuntabilitas, serta transparan.
Governance berarti pelaksanaan pemerintahan. Ini
berarti good governance adalah pemerintahan yang baik (lembaga),
sedangkan (good governance) adalah pelaksanaan pemerintahan yang baik
(penyelenggaraannya). Clean government mengandung arti pemerintahan yang
bersih (lembaga), sedangkan Clean government berarti pelaksanaan
pemerintahan yang bersih.
Baik buruknya
suatu pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur
prinsip-prinsip good governance sebagaimana tersebut di bawah ini.
Partisipasi (Participation)
Sebagai
pemilik kedaulatan rakyat, setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban
untuk mengambil bagian dalam bernegara, berpemerintahan serta bermasyarakat.
Partisipasi tersebut dapat dilakukan secara langsung maupun melalui institusi
intermediasi seperti DPRD, LSM dan lain sebagainya. Partisipasi rakyat warga
negara dilakukan tidak hanya pada tahapan implementasi, tetapi secara
menyeluruh mulai dari tahapan penyusunan kebijakan, pelaksanaan, evaluasi serta
pemanfaatan hasil-hasilnya. Syarat utama warga negara disebut transparansi
dalam kegiatan berbangsa, bernegara dan berpemerintahan, yaitu :
-
Ada
rasa kesukarelaan (tanpa paksaan)
-
Ada
keterlibatan secara emosional
-
Memperoleh
manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari keterlibatannya.
Penegakan Hukum (Rule of
Law)
Good
governance dilaksanakan
dalam rangka demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu syarat
kehidupan demokratisasi adalah adanya penegakan hukum yang adil dan
dilaksanakan tanpa pandang bulu. Tanpa penegakan hukum yang tegas, tidak akan
tercipta kehidupan yang demokratis, melainkan anarki. Tanpa penegakan hukum,
orang secara bebas berupaya mencapai tujuannya sendiri tanpa mengindahkan
kepentingan orang lain, termasuk menghalalkan segala cara. Oleh karena itu,
langkah awal penciptaan good governance adalah membangu sistem hukum
yang sehat, baik perangkat lunak (software), perangkat keras (hardware)
maupun sumber daya manusia yang menjalankan sistemnya (human ware).
Transparansi (Transparancy)
Salah satu
karakteristik good governance adalah keterbukaan. Karakteristik ini
sesuai dengan semangat zaman yang serba terbuka akibat adanya revolusi
informasi. Keterbukaan tersebut mencakup semua aspek aktivitas yang menyangkut
kepentingan publik mulai dari proses pengambilan keputusan, penggunaan
dana-dana publik sampai pada tahap evaluasi.
Daya Tanggap (Responsiveness)
Sebagai konsekwensi logis dari keterbukaan, maka setiap
komponen yang terlibat dalam proses pembangunan good governance perlu
memiliki daya tanggap terhadap keinginan maupun keluhan para pemegang saham (satake
holder). Upaya peningkatan daya tanggap tersebut terutama ditujukan pada
sektor publik yang selama ini cendrung tertutup, arogan serta berorientasi pada
kekuasaan. Untuk mengetahui kepuasan masyarakat terhadap pelayanan yang
diberikan oleh sektor publik, secara periodik perlu dilakukan survey tingkat
kepuasan konsumen (custumer satisfaction).
Berorientasi pada Konsenseus (Consensus
Orientation)
Kegiatan
bernegara, berpemerintahan dan bermasyarakat pada dasarnya adalah kreatifitas
politik, yang berisi dua hal utama yaitu konflik dan konsensus. Di dalam good
governance, pengambilan keputusan maupun pemecahan masalah bersama lebih
diutamakan berdasarkan konsensus, yang dilanjutkan dengan kesedian untuk
konsisten melaksanakan konsensus yang telah diputuskan bersama. Konsensus bagi
bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah hal baru, karena nilai dasar kita dalam
memecahkan persoalan bangsa adalah melalui “musyawarah”.
Keadilan (Equity)
Melalui prinsip good governance, setiap warga
negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan. Akan tetapi karena kemampuan masing-masing
warga negara berbeda-beda, maka sektor publik perlu memainkan peranan agar
kesejahteraan dan keadilan dapat berjalan seiring sejalan.
Keefektifan dan Efisiensi (Effectiveness
and Efficiency)
Agar mampu berkompetisi secara sehat dalam percaturan
dunia, kegiatan domain dalam governance perlu mengutamakan efektivitas
dan efisiensi dalam setiap kegiatan. Tekanan perlunya efektivitas dan efisiensi terutama ditujukan pada sektor
publik karena sektor ini menjalankan aktivitasnya secara monopolistik. Tanpa
adanya kompetensi tidak akan tercapai efisiensi.
Akuntabilitas (Accountability)
Setiap
aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan publik perlu mempertanggungjawabkan
kepada publik. Tanggung gugat dan tanggung jawab tidak hanya diberikan kepada
atasan saja melainkan juga pada para pemegang saham (stake holder),
yakni masyarakat luas. Secara teoritis, akuntabilitas itu sendiri dapat
dibedakan menjadi lima macam yaitu sebagai berikut :
-
Akuntabilitas Organisasional / administratif.
-
Akuntabilitas legal
-
Akuntabilitas politik
-
Akuntabilitas profesional
-
Akuntabilitas moral
Visi Strategis (Strategic Vision)
Dalam era yang berubah secara dinamis seperti sekarang
ini, setiap domain dalam good governance perlu memiliki visi yang
strategis. Tanpa adanya visi semacam itu, maka suatu bangsa dan negara akan
mengalami ketertinggalan. Visi itu sendiri dapat dibedakan antara visi jangka
panjang (long term vision) antara 20 sampai 25 tahun (satu generasi)
serta visi jangka pendek (short term vision) sekitar 5 tahun.
2
Kerangka Konseptual
1) Pengeseran kewenangan Administrasi Negara
Sejak
diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan saat ini telah diperlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah
membawa berbagai implikasi sebagai akibat adanya pergeseran kewenangan yang
semua bersifat sentralistik menjadi desentralistik. Artinya kewenangan
–kewenangan yang semua diatur dan ditentukan oleh Pemerintah Pusat otonotis
berpindah dan telah menjadi kewenangan dan tanggung jawab Daerah.
Dalam pada
itu, bila dicermati pengertian Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 diterangkan bahwa kewenangan bidang lain sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian
pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem
administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan
sumber daya manusia, pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang
strategis, konservasi dan standardisasi nasional, disebutkan bahwa posisi
pemerintah pusat hanya sebatas menyiapkan dan berbuat yang bersifat
kebijakan-kebijakan saja, dengan pengertian tidak lagi bertindak sebagai
menetapkan setiap kebutuhan daerah.
Bila
pergeseran kewenangan termasuk kewenangan yang bertalian dalam menerbitkan
berbagai bentuk tata usaha negara atau administrasi negara yang semula
terpusat/terkonsentrasi (dikuasai) oleh pemerintah pusat tentu pergesaran
tersebut akan termasuk berbagai kewenangan tata usaha negara atau administrasi
negara yang selama ini ditangani pusat akan menjadi kewenangan dan tanggung
jawab daerah.
Selain itu,
dalam Undang-Undang Pemerintaha Daerah disebutkan pula bahwa otonomi yang
bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai
konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan
kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian
otonomi tersebut berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang
semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan.
Makna
pengertian Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan pengertian
otonomi bertanggung jawab, akan terlepasnya hak dan kewenangan pusat berupa
ijin yang meliputi pengesahan, penghapusan, persetujuan, penetapan dan berbagai
kewenangan lain bergeser/berpindah menjadi hak dan kewenangan Daerah Propinsi,
Kabupaten/Kota.
Begitupun
dalam pengertian otonomi luas vide Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah
diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dari
Daerah dalam sistem Negara Kesatuan RI inilah prinsip dari otonomi
seluas-luasnya itu yaitu berdasarkan asas otonomi dan urusan pembantuan.
Menurut Bagir
Manan, ketentuan ini memberikan gambaran bahwa otonomi daerah itu merupakan
wewenang dari daerah.
2) Efektivitas Reformasi Perpajakan
Upaya
pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak salah satunya melalui:
Reformasi perpajakan (1983)
dengan perubahan sistem perpajakan yaitu dari sistem official assesment,
menjadi sistem self assesment. Perubahan sistem perpajakan didikuti dengan
penyempurnaan administrasi perpajakan melalui perubahan struktur organisasi
melalui reorganisasi, harus terus dilakukan secara berkesinambungan. Dengan
harapan dapat meningkatkan kinerja yang dapat diukur berdasarkan produktivitas,
responsivitas dan akuntabilitas.
Sasaran
Administrasi perpajakan adalah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak
(Toshiyuki). : Target Akhir administrasi
perpajakan adalah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, bahwa dalam sistem
self assesment aktifitas utama administrasi perpajakan adalah untuk mengawasi
kepatuhan dan meyakinkan bahwa wajib pajak menjalankan kewajiban perpajakannya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam hal:
-
Pendaftaran wajib pajak
-
Penilaian
-
Menjalankan Prosedur pemungutan
-
Pelaporan penghindaran dan penggelapan
pajak
Menurut Bird
dan Jantscher terdapat hubungan antara administrasi perpajakan dengan kepatuhan
wajib pajak yang dapat memperkecil angka ketidak patuhan. Bukan hanya melihat
dari aspek peningkatan penerimaan saja.
Administrasi
pajak yang baik pada dasarnya tidak mampu mengumpulkan penerimaan pajak
sebesar-besarnya. Administrasi perpajakan yang mudah ditagih, seperti gaji
pegawai, tetapi tidak mampu untuk menagih pajak dari perusahaan-perusahaan dan
profesional, jadi penerimaan pajak bukan merupakan ukuran yang tepat atas
efektivitas administrasi perpajakan. Pengukuran lebih akurat untuk mengetahui
efektivitas administrasi perpajakan adalah berapa besarnya jurang kepatuhan,
yaitu selisih antara penerimaan pajak yang sesungguhnya dengan penerimaan pajak
potensial dengan tingkat kepatuhan dari masing-masing sektor perpajakan.
Berdasarkan
hal tersebut di atas dapat dikatakan bahwa kepatuhan wajib pajak saat ini masih
rendah. Hal ini dapat dilihat dari aspek pemenuhan kewajiban perpajakan, khususnya
yang berkaitan dengan kewajiban; pendaftaran, pelaporan SPT dan pelunasan pajak
terhutang, pendeknya kepatuhan WP dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
Pertama : Kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri, jumlah wajib
pajak yang terdaftar pada administrasi pajak masih sangat rendah (pada tahun
2002 dari 210 juta jumlah penduduk wajib pajak orang pribadi dan badan yang
terdaftar hanya 2.583.960 wajib pajak. Artinya Sistem Perpajakan Nasional belum
dapat meningkatkan pembayaran beban pajak yang terdistribusi secara merata,
karena hanya 10 % lebih wajib pajak yang menanggung beban pajak (Tax
Corverage Ratio).
Kedua : Kepatuhan
wajib pajak untuk menyetor kembali Surat Pemberitahuan (SPT).
Ketiga : Kepatuhan
wajib pajak dalam perhitungan dan pembayaran pajak terhutang masih rendah
(1.068.467 WP atau 41,35% dari keseluruhan wajib pajak efektif yaitu 2.583.960
wajib pajak).
Keempat
: Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan
pajak, akumulasi jumlah nominal tunggakan pajak cukup besar (sampai tahun 2000
Rp. 17,3 Triliun, besarnya jumlah tunggakan dan rendahnya pencapaian penagihan
pajak tiap tahun menunjukkan bahwa penegakkan hukum melalui penagihan aktif
belum dilaksanakan secara optimal sesuai dengan ketentuan.
Dengan
demikian menurut Chaizi Naruha tersebut terlihat bahwa ada hubungan/korelasi
antara reformasi perpajakan dengan tingkat kepatuhan wajib pajak.
Menurut
Andreoni et, al; Kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh banyak faktor antara
lain: Pelayanan Publik, kebijakan dan keuangan publik, penawaran tenaga kerja,
jenis pekerjaan, bentuk organisasi, moral wajib pajak, tarif pajak, demografi
(jenis kelamin dan umur), kondisi sosial masyarakat, penegakan hukum (audit dan
penalti), kompleksitas dan amnesti pajak.
Mengingat
banyaknya faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak, untuk membatasi
permasalahan penelitian ini hanya difokuskan pada pengaruh efektivitas
reformasi administrasi perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak yang meliputi
reformasi organisasi, prosedur organisasi, strategi organisasi dan budaya
organisasi.
Berdasarkan
gambaran di atas, terlihat bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh
bagaimana administrasi perpajakan dijalanka.
Administrasi
perpajakan yang lemah, baik yang menyangkut aspek struktur organisasi, prosedur
organisasi, strategi organisasi maupun budaya organisasi dapat menyebabkan
akuntabilitas organisasi dan tingkat kepatuhan wajib pajak rendah dan ini
berdampak juga pada rendahnya kinerja perpajakan.
Permasalahan
pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah apakah reformasi
administrasi perpajakan yang telah dilakukan selama ini sudah atau belum secara
menyeluruh mencakup perubahan dari aspek struktur organisasi, prosedur,
strategi organisasi, dan budaya organisasi, sehingga berpengaruh terhadap
akuntabilitas organisasi, (SAMSAT/UPTD) dalam meningkatkan kepatuhan wajib
pajak.
3) Kinerja Sektor Publik
Kinerja merupakan tingkat pencapaian
tujuan organisasi menurut, Rue dan Bryan, kinerja adalah tingkat pencapaian (the
degree of accomplishment).
Kinerja bagi setiap organisasi sangat
penting terutama penilaian ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam batas
waktu tertentu. Berbagai pendapat
menyamakan kinerja (performance) dengan prestasi kualitas pelaksanaan
tugas atau aktivitas pencapaian tujuan dan misinya.
Di samping itu ada pula pendapat yang
menyamakan pengertian kinerja dengan efisiensi dan efektivitas. (Miles dan Snow
1978, 77-78). (Interplant, 1969 : 15)
Atmo Sudirjo, berpendapat bahwa kinerja
dapat berarti prestasi kerja, prestasi penyelenggaraan sesuatu.
Levine, Lima indikator untuk mengukur
kinerja sektor publik, produktifitas, kualitas pelayanan, responsivitas,
responsibilitas, dan akuntabilitas.
a.
Produktivitas adalah ukuran seberapa
pelayanan publik itu menghasilkan yang diharapkan, dari segi efisiensi dan
efektivitas.
b.
Kualitas pelayanan adalah ukuran-ukuran
citra yang diakui masyarakat mengenai pelayanan yang diberikan yaitu masyarakat
merasa puas atau tidak puas.
c.
Responsivitas adalah ukuran kemampuan
organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas
pelayanan publik sesuai kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
d.
Responsibilitas adalah ukuran apakah
pelaksanaan kegiatan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar.
e.
Akuntabilitas adalah ukuran seberapa besar
kebijakan dan kegiatan organisasi publik dapat dipertanggungjawabkan kepada
rakyat atau konsisten dengan kehendak rakyat.
4) Pelayanan Publik dalam Administrasi Negara
Pengertian pelayanan adalah suatu proses
bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu yang memerlukan kepekaan
dan hubungan interpersonal agar terciptanya kepuasan dan keberhasilan.
Sedangkan pelayanan umum menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara ( Men-Pan ) No. 81 Tahun 1993 adalah segala bentuk pelayanan
umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dan
lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa,
bai dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari pengertian tentang pelayanan umu di
atas, terkait beberapa istilah dalam administrasi Negara, seperti instansi
pemerintah, tata laksana, tata kerja, prosedur kerja, sistem kerja, kewajiban
dan seterusnya yang diuraikan di bawah ini.
1. Instansi Pemerintah
Yang dimaksud
dengan instansi pemerintah di sini adalah sebutan kolektif yang meliputi satuan
kerja atau satuan organisasi suatu departemen, lembaga pemerintah bukan
departemen, instansi pemerintah lainnya, baik instansi pemerintah di tingkat
pusat maupun instansi pemerintah di tingkat daerah, termasuk BUMN dan BUMD.
2. Tata Laksana
Yang dimaksud
dengan tata laksana adalah segala aturan yang ditetapkan oleh pimpinan instansi
pemerintah yang menyangkut tata cara, prosedur dan sistem kerja dalam
melaksanakan kegiatan yang berkenaan dengan penyelenggaraan tugas dan fungsi
pemerintah dan pembangunan pelayanan di bidang umum.
3. Tata Kerja
Tata kerja
dimaksudkan sebagai cara-cara pelaksanaan kerja yang efisien mengenai satu atau
serangkaian tugas dengan memperhatikan segi-segi tujuan, peralatan, fasilitas,
tenaga waktu, ruang, biaya yang tersedia.
4. Prosedur Kerja
Yang dimaksud
dengan prosedur kerja adalah rangkaian tata kerja yang berkaitan satu sama
lain, sehingga menunjukkan adanya urutan secara jelas dan pasti serta cara-cara
yang harus ditempuh dalam rangka penyelesaian suatu bidang tugas.
5. Sistem Kerja
Sistem kerja
di sini diartikan dengan rangkaian tata kerja dan prosedur kerja yang membentuk
suatu kebulatan pola kerja tertentu dalam rangka mencapai hasil kerja yang
diharapkan.
6. Kewajiban
Kewajiban di
sini diartikan sebagai aparatur penyelenggaraan pelayanan umum untuk mengambil
tindakan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam rangka memuaskan masyarakat sebagai
pelanggan, kewajiban bukan hanya melekat pada pejabat, tetapi setiap aparatur
dalam lingkungan kerja ketika bertemu dengan pelanggan. Misalnya wajib untuk
menanyakan apa yang diinginkan pelanggan yang hadir pada waktu itu. Artinya harus
proaktif dalam menyambut kedatangan pelanggan.
F Metode Penelitian
a. Pendekatan
Penelitian
dilakukan dengan menggunakan pendekatan empiris menurut penelitian hukum
sosiologis untuk mengetahui efektivitas dan dampak hukum dari adanya
kebijaksanaan publik pelayanan di bidang perpajakan. Yang diukur dari standar
waktu dan biaya berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Dalam hal ini
secara normatif apakah telah berhasil atau gagal menciptakan kinerja
(pencapaian target penerimaan/ pemungutan pajak kendaraan bermotor dan bea
balik nama kendaraan bermotor) secara bersamaan yang ditilik dari aspek
kepatuhan wajib pajak (kesadaran hukum masyarakat) dan pemahaman aparat
perpajakan dalam memberikan pelayanan saat mengemban tugasnya sehari-hari. Penelitian ini menggunakan data kuantitatif dan
kualitatif yang diperdapat saat survey deskriptif, yang disampaikan dalam
bentuk deskripsi kualitatif.
b. Lokasi Penelitian
Penelitian
dilakukan pada Kantor Bersama SAMSAT/ UPTD Pelayanan Pendapatan Provinsi Sumatera Barat di Padang dengan wilayah kerja
meliputi wilayah otonom dan Administratif Kota Padang yang terdiri dari sebelas
Kecamatan, yaitu Kecamatan Padang Timur, Padang Barat, Padang Utara, Padang
Selatan, Lubuk Begalung, Kuranji, Nanggalo, Koto Tangah, Teluk Kabung, Lubuk
Kilangan dan Pauh dengan 103 kelurahannya. Pengambilan sampel penelitian
diambil dari lima kecamatan tertentu yang padat penduduknya di Kota Padang, sedangkan kecamatan lain (6 kecamatan) hanya
2 kecamatan (diambil/dipilih) secara acak, sesuai dengan kompetensi keperluan
situasi dan kondisi sampel.
c. Metode dan Alat Pengumpulan bahan hukum.
Teknik
pengumpulan data yang digunakan tergantung kepada data dan sumber data yang
dibutuhkan, antara lain adalah :
1) Dokumentasi; untuk mengumpulkan data
primer dan sekunder, penulis menganalisa dokumen-dokumen dalam bentuk tulisan.
Data yang dikumpulkan antara lain tentang APBD, Pendapatan Asli Daerah, Hukum
Pajak Daerah, data kepegawaian, data statistik berupa PDRB, laporan-laparan dan
lain-lain yang berkaitan dengan tujuan penelitian.
2) Observasi; untuk memperoteh informasi
serta gambaran empirik tentang data-data yang diperlukan dengan mengadakan
pengamatan langsung pada obyek penelitian.
3) Wawancara; adalah percakapan langsung
dengan maksud untuk memperkuat data sekunder yang diperlukan dalam penelitian.
Percakapan itu dilakukan aleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer)
yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (responden). Tehnik
wawancara yang digunakan adalah wawancara terbuka (open interview) dengan
maksud agar responden tahu bahwa mereka sedang diwawancarai dan mengetahui pula
maksud wawancara tersebut. Untuk itu instrumen penelitian yang digunakan adalah
pedoman wawancara (indepth interview) yang merupakan penuntun bagi
peneliti dalam mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka
sehingga memberikan kebebasan yang seluas-luasnya bagi responden untuk
menyampaikan pendapatnya.
4) Untuk melengkapi sumber data primer dalam
penelitian ini, juga ditetapkan para fungsionaris pejabat terkait yang
berkompeten mengambil kebijakan terhadap kinerja Dinas Pendapatan Daerah
Provinsi Sumatera Barat dan UPTD Samsat
Padang yakni pejabat yang menempati tingkatan (top management, middle
management, dan lower rrranagement' serta staf) serta
para penentu kebijakan pada Pemerintah Propinsi Sumatera Barat dan Jajaran
Polda Sumatera Barat.
d. Populasi dan Sampel
Dari populasi
420 yang didapatkan dari jumlah rata-rata wajib pajak dan aparat perpajakan
terkait setiap harinya, diambil sebagai sampel sebanyak 42 orang (10%), yang ada pada
Kantor Bersama SAMSAT/UPTD Pelayanan Pendapatan Provinsi Sumatera Barat di
Padang, dari para wajib pajak dipilih sampelnya sebanyak 42 orang yang berasal
dari masyarakat Kota Padang dalam wilayah 5 kecamatan sampel/terpilih yaitu
Kecamatan Padang Timur 8 orang, Kecamatan Padang Barat 8 orang, Kecamatan Koto
Tangah 8 orang, Kecamatan Lubuk Begalung 8 orang dan Kecamatan Bungus 28 orang
dan 2 orang dari aparat pajak yang berdomisili di luar Kota Padang.
Teknik yang
dipakai dalam pengambilan sampel adalah Stratified random sampling, karena
dcngan cara ini sub kelompok yang spesifik akan memiliki jumlah yang cukup
terwakili dalam sampel, serta menyediakan jumlah sampel sebagai sub analisis
dari anggota kelompok tersebut. Dalam strategi ini populasi dikategorikan dalam
kelompok-kelompok yang memiliki strata yang sama sesuai karakteristik masing-masing
responden.
Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden (wajib pajak)
dan petugas pajak serta pejabat yang berwenang/ terkait. Untuk melengkapi data
yang diperoleh secara langsung dari responden tersebut, data juga diperoleh
dari beberapa informan tertentu, yaitu orang-orang yang relevan dianggap
mengetahui masalah objek penelitian dengan melakukan wawancara.
Sedangkan Data Sekunder merupakan data yang
diperoleh dari buku referensi dan data yang ada di Dispenda Provinsi Sumatera
Barat, Ditlantas Polda Sumatera Barat, PT. Jasa Raharja (Persero) Cabang
Sumatera Barat dan Kantor Bersama Samsat Sumatera Barat di Padang. Data yang
diperoleh antara lain yang berkaitan dengan situasi dan Kondisi Samsat, seperti
sumber daya yang tersedia, meliputi manusia (kualitas dan kuantitas) dan
prasarana serta wajib pajak yang dilayani.
Selain itu, Data Sekunder
ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari :
1. Bahan Hukum Primer, antara lain :
a. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah;
b. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005
tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.
c. Instruktur Presiden No. 7 Tahun 1999
tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan.
d. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1995
tentang Perbaikan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintahan Kepada Masyarakat.
e. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara No. 63/KEP/ M.PAN/2003 tentang Pedoman Umum Penyeleng-garaan Pelayanan
Publik.
f. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7
Tahun 2006 tentang Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintah Daerah.
g. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
h. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara : Kep/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan
Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.
i.
Keputusan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. Kep/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk
Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
j.
Surat
Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI, Menteri Keuangan
dan Menteri Dalam Negeri Nomor PoI/KEP/13/XII/1976, Nomor
KEP.1693/MK/TU/12/1976 dan Nomor 311 Tahun 1976, tentang Peningkatan Kerjasama
antara Pemerintah Daerah Tingkat I, Komando Daerah Kepolisian dan Aparat
Departemen Keuangan dalam rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat serta
peningkatan Pendapatan Daerah khususrya mengenai Pajak Kendaraan Bermotor;
k. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2003
tentang Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
l.
Peraturan
Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan di Atas Air;
m. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2002
tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan;
n. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1973
tentang Pembentukan Dinas Pendapatan Daerah;
o. Surat Keputusan Gubernur Sumatera Barat
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Provinsi
Sumatera Barat;
p. Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 57
Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik di lingkungan
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
q. Surat Keputusan
Bersama Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Sumatera Barat dan Kepala Dinas
Pendapatan Daerah Propinsi Sumatera Barat dan Kepala Cabang Jasa Raharja ( Persero
) Sumatera Barat Nomor : B/24/I/2006/DITLANTAS per Nomor: 973/043/ PAJAK-2006/
Nomor: P/1/SPP/2006, tanggal 24 Januari 2006, tentang Standar Pelayanan Minimal
Penerbit STNK, Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor ( PKB ), Bea Balik Nama
Kendaraan Bermtor ( BBNKB ), dan
Sumbangan Wajib dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan ( SWDKLLJ ). Pada Kantor
Bersama SAMSAT Di Sumatera Barat.
r.
Surat
Edaran Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor
065/181/Dipenda-2006, 28 Februari Tahun 2006 tentang Standar Pelayanan Minimal
”Penerbitan Naskah Dinas dalam bentuk surat yang berkaitan dengan Pelayanan
Umum yang diberikan oleh Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Barat.
s. Produk hukum yang berlaku dan relevan
lainnya.
2. Bahan Hukum Sekunder
Dihimpun melalui kegiatan penelitian
dengan memanfaatkan media cetak dan elektronik berupa buku-buku, tesis,
majalah, surat kabar, internet dan sebagainya.
3. Bahan Hukum Tertier
Yaitu bahan hukum yang memberi
penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, seperti ensiklopedi, kamus, dan
lain-lain
d. Teknik Analisis Bahan Hukum (Kualitatif)
Teknik
analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini dilakukan secara
kualitatif. Setelah data primer terkumpul, dilakukan pengelompokan data dan
pengeditan guna mengidentifikasi data yang relevan dengan pokok permasalahan
penelitian. Setelah itu data dianalisis.
Analisis data
dimaksudkan adalah untuk menyederhana-kan data agar menjadi informasi yang
dapat digunakan dalam menjelaskan permasalahan penelitian. Pada tahap ini
analisis data dilakukan setelah semua informasi dianggap cukup memadai oleh
peneliti. Langkah yang dilakukan untuk menganalisi data yaitu melakukan
penyederhanaan informasi yang diperoleh dengan memilah-milah informasi
berdasarkan kategori yang telah disiapkan dalam blanko tanggapan dan daftar
wawancara dengan menggunakan aturan positif yang ada dan teori-teori maupun
pendapat yang disinggung dalam tinjauan pustaka, sehingga dapat ditafsirkan
untuk merumuskan kesimpulan penelitian.
BERSAMBUNG
FILE TERSUSUN RAPI FORMAT DOCX (bisa di edit)
silahkan sms langsung, file akan dikirim via email
TERIMAKASIH .............SEMOGA BERMANFAAT
silahkan sms langsung, file akan dikirim via email
TERIMAKASIH .............SEMOGA BERMANFAAT
No comments:
Post a Comment