STRATEGI PERUBAHAN BUDAYA ORGANISASI
1. Pendahuluan
Meski telah disadari bahwa budaya organisasi bersifat dinamik dan
pluralistic, perdebatan
tentang
apakah budaya organisasi
dapat
di-manage
dan dikendalikan masih terjadi. Pandangan pertama yang diwakili oleh Gagliardi menyatakan bahwa budaya organisasi dapat di-manage dan dikendalikan. Argumentasi
yang digunakan
adalah bahwa budaya organisasi merupakan komponen illusive yang menyatu dalam
diri setiap orang pada dataran yang paling mendasar (alam bawah sadar), sehingga untuk merubah budaya organisasi membutuhkan pengetahuan yang
mendalam tentang bagaimana alam bawah sadar terbentuk dan
berfungsi serta memungkinkan akan menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Pandangan kedua menyatakan bahwa budaya organisasi dapat
di-manage dan dikendalikan. Pandangan
ini
terpecah menjadi 2
(dua) kelompok, yaitu pendapat
bahwa perubahan budaya organisasi sangat bergantung kemauan para
eksekutif dan pendapat yang
mengatakan bahwa perubahan hanya mungkin
dilakukan jika memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya kondisi-kondisi yang memungkinkan
terjadinya perubahan budaya organisasi.
Sementara ada pandangan yang lebihmoderat dalam mensikapi terjadinya perdebatan ini, yaitu
pandangan yang tidak mempertentangkan apakah
budaya organisasi dapat di-manage dan
dikendalikan ataukah tidak, tetapi lebih menekankan
tentang bagaimana, kapan dan dalam
keadaan apa
sebaiknya budaya organisasi
dirubah. Diantara kondisi
lingkungan yang memerlukan perubahan antara lain terjadinya krisis organisasi,
pergantian kepemimpinan dan pembentukan
organisasi baru.
2. Siklus Hidup Organisasi (Organizational
Life Cyrcle)
Siklus organisasi tidak berhenti sampai organisasi
tersebut lahir dan
bisa berjalan, namun sangat diharapkan dapat hidup tanpa batas waktu meski kita tidak tahu kapan
organisasi
bisa terus tumbuh
dan kapan
kita terpaksa
menghentikan
kegiatan organisasi.
Setiap orang yang mendirikan organisasi tidak hanya berharap
organisasinya hanya sekedar hidup
dan menjalankan kegiatannya, namun juga berharap organisasinya terus tubuh berkelanjutan (sustainable growth).
Tujuan memahami siklus hidup organisasi adalah
agar dapat memahami
karakteristik dan budaya pada setiap tahapan dalam siklus hidup organisasi,
karena setiap tahapan
mempunyai
perbedaan.
Dengan
memahami
karakteristik
ini, maka setiap manajer akan lebih mudah menetapkan skala prioritas yang
berbeda pada setiap tahapan. Disamping itu tujuan memahami siklus hidup organisasi adalah agar setiap orang lebih memiliki keterlibatan
dalam organisasi, sehingga
manajer lebih mudah menetapkan kapan dan bagaimana perubahan dilakukan untuk mempertahankan hidup organisasi dan menjamin keberlangsungan organisasi.
Ada beberapa pendapat tentang
siklus
hidup organisasi,
namun penulis mencoba mencari yang lebih sederhana. Siklus hidup organisasi (SHO) bermula dari
sebuah organisasi didirikan (birth stage). Setelah melewati masa kritis, bisa survive dan eksis,
siklus organisasi berlanjut ketingkat berikutnya yaitu tumbuh dan menjadi
besar (growth stage). Pertumbuhan organisasi ini pada titik tertentu akan berhenti (stagnant karena mengalami kejenuhan (maturity stagnant). Jika situasi kejenuhan ini bisa diatasi maka organisasi akan bangkit kembali (revival stage). Namun sebaliknya jika situasi ini terus berlanjut bukan tidak mungkin
siklus akan berlanjut ke tahap
penurunan (declining stage) dan boleh jadi sampai ke tahap kematian (death).
3. Siklus Hidup Organisasi dan Perubahan
Budaya Organisasi
Merubah budaya organisasi bukan
perkara mudah, karena sekali budaya sudah terkristalisasi ke dalam masing-masing anggota organisasi dan
tersistem dalam kehidupan organisasi, maka para anggota organisasi akan
cenderung mempertahankannya tanpa
memperhatikan apakah budaya organisasi
tersebut functional atau
dysfunctional terhadap kehidupan organisasi. Dengan kata lain perubahan budaya hampir selalu
berhadapan dengan resistensi para karyawan,
sehingga perubahan budaya seringkali
berjalan secara gradual
dan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Perubahan budaya umumnya diawali dengan adanya krisis
organisasi (vicious cyrcle) yakni ketika organisasi berusaha mengatasi situasi kritis baik yang berasal dari dalam organisasi maupun dari luar lingkungan
organisasi.
Namun
demikian tidak
berarti bahwa pada tahap pertumbuhan tidak dimungkinkan adanya perubahan budaya organisasi. Hal ini berarti bahwa pada setiap tahap organisasi dimungkinkan adanya perubahan budaya, hanya yang membedakan adalah tujuan dari perubahan tersebut.
a. Mekanisme perubahan pada tahap berdiri dan pertumbuhan
Pada tahap ini organisasi belum begitu kompleks dan peran pendiri dan
atau keluarganya sangat dominant, sehingga budaya organisasi merupakan cerminan nilai- nilai dan pandangan
para pendiri dan para pekerja yang datang belakangan hanya
sekedar mengikuti, mempelajari dan mengikuti saja seolah-olah tidak
mempunyai peran dalam
membangun budaya organisasi.
Bagi para pendiri budaya organisasi
lebih berfungsi sebagai alat untuk mengintegrasikan pekerja dengan organisasi, alat perekat
diantara
anggota organisasi dan alat untuk membangun
komitmen
dalam rangka menunjukkan identitas
diri organisasi sehingga jika ada perubahan
budaya organisasi lebih disebabkan karena adanya tuntutan internal dan agar terjadinya kohesivitas atau integrasi internal yang semakin kokoh.
Ada 4 (empat) mekanisme perubahan yang bisa digunakan yaitu :
1. Perubahan evolutif yang bersifat natural; Perubahan budaya yang bersifat natural tanpa adanya
rekayasa perencanaan
sebelumnya dan lebih berorientasi
internal
dalam kerangka memperkokoh nilai-nilai yang sudah ada.
2. Perubahan
evolutif yang dipandu dari dalam organisasi (self
guided) dengan menggunakan terapi organisasi; Perubahan budaya karena adanya kesadaran akan pentingnya memantau terus kondisi internal organisasi, melakukan penilaian dan evaluasi sehingga mengetahui kelemahan dan kelebihan organisasi. Perubahan ini terkadang membutuhkan keterlibatan
orang luar
dengan tujuan memberikan jaminan secara psikologis kepada orang-orang dalam organisasi bahwa
perubahan tidak perlu ditakutkan.
3. Perubahan
evolutif dengan hybrids; Perubahan budaya dengan
membiarkan
budaya lama tetap
eksis namun pada saat yang bersamaan mulai diperkenalkan
budaya baru sampai pada saatnya nanti budaya baru benar-benar bisa menggantikan budaya yang lama. Untuk perubahan ini diperlukan bantuan orang
dalam yang sudah lama bergabung dengan
perusahan, sehingga
keberadaannya dapat diterima semua pihak.
4. Perubahan
revolutif terkendali dengan bantuan pihak luar organisas; Perubahan ini bisa dikatakan revolusioner karena perubahanya melibatkan orang luar
meski
perubahannya masih dalam batas kendali organisasi (para pendiri).
b.
Mekanisme perubahan pada tahap perkembangan
Pada tahap ini tujuan perubahan budaya adalah untuk melakukan adaptasi eksternal yang dilakukan secara sistematis dan terencana. Adapun mekanisme yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Perubahan terencana dan pengembangan organisasi (Planned change and organizational
development);
Perubahan
yang dilakukan secara terencana untuk menselaraskan budaya
dengan perkeambangan
organisasi di
masa yang akan datang.
Hal ini dikarenakan perkembangan organisasi tidak sesuai lagi dengan
budaya organisasi yang ada.
2. Perubahan
budaya dengan memperkenalkan teknologi
baru (technological
seduction); Perubahan budaya dikarenakan adanya
perubahan penggunaan teknologi baru. Perubahan teknologi
akan mendorong
perubahan
perilaku yang merupakan hasil adopsi nilai, keyakinan dan
asumsi baru dalam menjalankan
aktifitas perusahaan.
3. Perubahan
budaya dengan memaparkan sisi negative dari mitos yang selama ini berkembang di
dalam
organisasi; Perubahan
dilakukan dengan mengembangkan asumsi atau mitos lain yang lebih relevan dalam menjalankan aktifitas perusahaan.
4. Perubahan sedikit demi
sedikit tetapi konsisten (Incrementalism); Perubahan dilakukan
dengan memanfaatkan setiap kesempatan
yang ada
dalam upayanya untuk mempengaruhi semua pihak yang
terlibat dalam perusahan sehingga tujuan akhir tercapai.
c. Mekanisme perubahan pada tahap penurunan
Penurunan biasanya diawali dengan adanya krisis organisasi yang
disebabkan
perubahan internal dan eksternal organisasi. Pada situasi seperti ini biasanya perubahan dilakukan secara
structural atau
radikal dengan
2
(dua)
opsi yang berkembang yaitu transformasi
dan destruksi.
Adapun mekanisme perubahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Perubahan
yang bersifat persuasi dengan sedikit ancaman (coercive persuasion); Perubahan dengan memaksa orang membuka pbikirannya agar bisa memotivasi dirinya untuk mencari informasi baru sehingga ia bisa mendefinisikan ulang kedudukan dirinya dan menentukan apa yang dilakukannya.
2. Perubahan
budaya melalui strategi penyehatan
organisasi (turnaround); Perubahan ini biasanya
dilakukan
dengan mulai memperkenalkan budaya
baru dengan cara
meng-edukasi
dan coaching para anggota organisasi,
merubah
struktur dan proses organisasi, memberi perhatian dan
penghargaan, menciptakan slogan
disamping memberikan
sedikit ancaman bagi mereka
yang tidak mau berubah.
3. Perubahan budaya melalui reorganisasi dan melahirkan kembali organisasi baru (reorganization and
rebirth); Perubahan ini dimulai dengan pembubaran organisasi kemudian membentuk organisasi yang baru baik
secara simbolik yaitu dengan cara menata ulang visi, misi dan tujuan jangka panjang serta pergantian kepemimpinan.
Sedangkan
secara riil
berupa
berbentuk
akuisisi dan
merger bahkan joint venture (aliansi strategis).
4. Strategi Generik Perubahan
Budaya
Secara umum Paul Bate menawarkan 4 (empat) pendekatan perubahan budaya
yaitu :
a. Pendekatan agresif (Aggressive approach); Perubahan budaya dengan
menggunakan pendekatan kekuasaan, non-kolaboratif, membuat konflik,
sifatnya dipaksakan, sifatnya win-lose, unilateral dan
menggunakan dekrit. Menurut Schein disebut
pendekatan
structural
karena
mencabut akar-akar budaya yang ada.
b. Pendekatan jalan damai
(Conciliative approach);
Perubahan budaya
dilakukan secara kolaboratif, dipecahkan bersama, win-win, integratif dan memperkenalkan budaya yang
baru
terlebih
dahulu sebelum
mengganti budaya yang lama
c. Pendekatan korosif (Corrosive approach; Perubahan
budaya yang dilaukan dengan pendekatan informal, evolutif, tidak
terencana, politis, koalisi
dan
mengandalkan
networking. Budaya
lama sedikit demi
sedikit
dirusak dan diganti dengan budaya baru
d. Pendekatan indoktrinasi (Indoctrinative approachI); Pendekatan yang bersifat normatif dengan
menggunakan program pelatihan dan pendidikan ulang terhadap pemahaman budaya yang baru.
Berdasarkan pendekatan tersebut diatas, maka Paul Bate menyampaikan ada 5 (lima) tahap perubahan budaya yaitu :
1. Deformative (Tahap gagasan perubahan) yaitu perubahan budaya belum benar-benar terjadi, baru sebatas gagasan yang menegaskan bahwa perubahan
budaya perlu dilakukan.
Pada tahap ini biasanya terjadi shock
therapy
dan mendramatisir pemaparan perlunya perubahan budaya .
2. Reconsiliative (Tahap dukungan gagasan perubahan) yaitu Adanya dukungan
berbagai pihak terhadap gagasan perubahan budaya. Pada tahap ini terjadinya
negosiasi terhadap pelaku budaya baik dari pihak inisiator atau pendorong perubahan maupun pihak yang tidak setuju perubahan budaya
3. Acculturative (Tahap komunikasi dan komitmen) yaitu terjadinya komunikasi yang intensif
terhadap
kesepakatan
yang diperloleh pada tahap sebelumnya untuk menciptakan komitmen. Pada tahap ini
perlu dilakukan proses sosialisasi dan edukasi untuk membantu penetrasi perubahan budaya
4. Enactive (Tahap pelaksanaan perubahan)
yaitu pelaksanaan hasil pemikiran, pembahasan dan diskusi tentang budaya baru. Pelaksanaan ini terdapat 2 (dua) bentu yaitu
personal enactment (masing-masing individu melakukan tindakan yang memungkinkan budaya menjadi bagian dari kehidupan mereka) dan collective enactment (para pelaku budaya secara bersama-sama memecahkan persoalan cultural yang selama ini masih menggantung)
5. Formative (Tahap pembentukan struktur dan bentuk budaya) yaitu saat membentuk dan mendesain struktur budaya
sehingga budaya yang dulunya invisible menjadi visible bagi semua anggaota organisasi.
Dalam melaksanakan perubahan budaya perlu memperhatikan beberapa dimensi perubahan antara lain :
a. Dimensi struktural (budaya
yang
akan
dirubah);
Tujuannya bukan
hanya sekedar mengetahui budaya yang ada tetapi juga agar pelaku perubahan bisa belajar tentang pola pikir irganisasi dan orang-orang yang terlibat di dalamnya
b. Dimensi
ruang dan
waktu (asal
muasal terbentuknya budaya
dan perjalanannya sepanjang
waktu);
Tujuannya agar
dalam perubahan
budaya
tidak terjadi kesalahan yang sama di masa datang
c. Dimensi proses perubahan (posisi budaya dalam siklus kehidupan budaya)
d. Dimensi konstekstual (situasi lingkungan di mana budaya berada)
e. Dimensi subyektif (tujaun dan keterlibatan orang per orang dalam perubahan)
Disamping itu untuk menilai efektifitas perubahan budaya Paul
Bate
juga
Menentukan parameternya antara lain :
1. Daya ekspresi yaitu kemampuan untuk menyampaikan ide-ide baru
2. Daya komonolitas yaitu kemampuan untuk membentuk satu set nilai
3. Daya penetrasi yaitu kemampuan untuk menembus berbagai level organisasi
4. Daya adaptif yaitu kemampuan
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang selalu berubah
5. Daya tahan yaitu kemampuan untuk
menciptakan
perubahan
yang hasilnya bisa tahan lama.
5. Resistensi Terhadap Perubahan Budaya
Meski sebagai manusia kita
sadar bahwa perubahan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, namun ketika perubahan itu
menimpa diri kita belum tentu kita mau menerimanya dengan sukarela. Ada beberapa bentuk resistensi (perlawanan)
terhadap perubahan budaya yaitu :
a. Culture of denial (Pengingkaran); Munculnya persepsi tentang pengingkaran
komitmen perusahan kepada
karyawan
untuk tetap
mempertahankan lingkungan kerja yang kondusif
b. Culture
of fear
(Ketakuatan);
Munculnya
kekhawatiran, stres,
depresi
dan takut terhadap dampak perubahan yang akan terjadi
c. Culture of cynism (Sinisme);
Munculnya persepsi bahwa perubahan budaya
hanya rekayasa sebagian orang dan tidak sungguh-sungguh serta hanya untuk kepentingan sebagian pihak saja
d. Culture
of self-interest
(Mementingkan
diri sendiri); Munculnya
sikap
dan perilaku mementingkan diri
sendiri dengan mencari peluang di luar perusahaan.
e. Culture of
distrust (Ketidakpercayaan);
Munculnya perasaan
saling
curiga terhadap sesama mitra kerja (horizontal) dan kepada eksektufi (vertical)
f. Culture of anomie
(Ketidakstabilan social);
Munculnya perubahan
sosial akibat perubahan
gaya kepemimpinan, sikap, pola pikir
dan perilaku yang lama.
Disamping bentuk-bentuk
resistensi tersebut diatas, perubahan
budaya juga dapat menimbulkan munculnya sub budaya yang
terselubung (The rise of underground subculture). Hal ini
disebabkan ada sebagian orang yang setengah hati menerima budaya baru, sehingga tidak jarang mereka mengadopsi budaya baru
sambil tetap mengidentifikasikan dirinya dengan simbol, nilai dan ritual budaya lama.
6. Bentuk-bentuk reaksi karyawan terhadap perubahan budaya organisasi
Meskipun dalam perubahan budaya terdapat perlawanan (resistance) yang merupakan bentuk negatif dari
perubahan, tetapi tidak jarang juga ada reaksi positif
dalam perubahan budaya. Bentuk-bentuk reaksi tersebut antara lain :
a. Active acceptance yaitu karyawan menerima apa adanya perubahan budaya
b. Selective reinvention yaitu karyawan mencoba mendaur ulang beberapa elemn budaya lama seolah-olah menjadi budaya baru
c. Reinvention yaitu secara umum karyawan enggan melakukan perubahan
d. General acceptance yaitu karyawan mau
menerima perubahan meski tidak sepenuhnya. Ada
beberapa yang ditolal dengan
asumsi
budaya lama lebih cocok
e. Dissonance yaitu karyawan
mengalami keraguan antara menerima dan menolak perubahan
f. General rejection yaitu secara umum karyawan menolak perubahan meski perubahan masih diterima dengan alasan budaya lama tidak lagi kondusif
g. Reinterpretation
yaitu secara umum karyawan mencoba menginterpretasikan perubahan dan menyesuaikan diri
h. Selective reinterpretation yaitu karyawan menginterpretasikan kembali beberapa komponen budaya dan menolak sebagian yang lain
i. Active rejection yaitu karyawan serta merta menolak perubahan budaya
No comments:
Post a Comment